Skip to main content

AWAL MULA TERBENTUKNYA ROUMUSHA DI JAWA

Awal Mula Terbentuknya Roumusha di Jawa
Sejak awal tahap perang, penguasa Jepang sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan mobilisasi efektif atas tenaga kerja setempat di Jawa dan memasoknya ke seluruh wilayah selatan. Permintaan akan tenaga kerja meningkat ketika situasi perang semakin berkobar, terutama setelah perang beralih semakin memburuk bagi Jepang dalam pertengahan 1943 dan perjuangan mati-matian untuk bertahan telah mulai. Pada September 1943, pemerintah Jepang dan penguasa militer di Jepang memutuskan apa yang disebut “Lingkungan yang mutlak harus dipertahankan” ( Zettai Kokubouken) yang meliputi seluruh Asia Tenggara serta Papua Nugini dan memusatkan pertempuran pertahanan yang putus asa demi lingkungan ini.
Pada saat itulah muncul kebutuhan besar akan berbagai pekerjaan pembangunan pertahanan seperti perlindungan serangan udara. Hal ini berarti bahwa tenaga kerja diperlukan tidak hanya untuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga untuk proyek-proyek yang secara langsung berkaitan dengan kelangsungan perang. Pada saat itulah perekrutan Roumusha di Jawa meningkat secara luar biasa dan dampaknya atas masyarakat Jawa menjadi serius. (Aiko Kurasawa, 2015:132-134)
Roumusha adalah orang-orang yang dipaksa kerja berat di luar daerahnya, selama pendudukan tentara Jepang bagi kepentingan tercapainya kemenangan akhir. Dengan cara halus hingga kasar, waktu itu setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya di bawah usia 30 tahun untuk berangkat menjadi Roumusha. Tenaga-tenaga tersebut didapat dari desa-desa di Pulau Jawa sebagai pulau yang paling padat penduduknya sehingga merupakan sumber tenaga kerja yang memungkinkan diadakannya pengerahan secara besar-besaran. Kaum Roumusha usia produktif itu dikerahkan dan dikirim ke proyek-proyek tentara Jepaaang di Jawa dan pulau-pulau lain bahkan sampai di Singapura dan Thailand. Mereka bekerja siang dan malam membangun gua-gua perlindungan pesawat tempur, membangun banteng-benteng perlindungan, membangun jalan dan jaringan-jaringan rel kereta api dan membangun lapangan terbang. Mereka juga dipekerjakan di tambang-tambang minyak, batu bara, membabat hutan dan menimbun rawa-rawa, kerja bongkar muat di pelabuhan-pelabuhan, di lokasi penggergajian kayu, di pabrik garam atau membuka pertanian palawija, jagung, kapas, jarak dan sayur mayur kebutuhan perang. (Hendri F. Isnaeni & Apid, 2008:50-51)
Mula-mula tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan tidak begitu jauh dari tempat tinggal penduduk. Pengerahan tenaga kerja tersebut memang tidak begitu sukar, mengingat masih tebalnya semangat gotong royong di desa-desa, ditambah dengan gencarnya propaganda yang muluk-muluk. Pengerahan tenaga kerja yang mula-mula bersifat sukarela berubah menjadi paksaan. Di tempat-tempat mereka bekerja, mereka diperlakukan secara kasar. Kesehatan tidak dijamin, makanan tidak cukup, pekerjaan sangat berat. Banyak diantara Roumusha yang meninggal di tempat kerjanya karena sakit, kekurangan makanan serta kecapaian ataupun kecelakaan. Berita buruk ini kemudian menjalar dari mulut ke mulut, sehingga menjadi rahasia umum bahwa kerja Roumusha merupakan kerja paksa yang mengerikan. Sudah barang tentu rakyat takut untuk menjadi Roumusha.
Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan mentupi rahasia itu, sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru yang mengatakan bahwa Roumusha adalah “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”. Penggunaan “kuli” bagi Roumusha dianggap menghina dan merendahkan derajat” prajurit ekonomi” ini. Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit yang menunaikan tugas-tugas sucinya untuk angakatan perang Jepang dan sumbangan mereka terhadap usaha perang itu mendapat pujian setinggi langit.
Pengerahan Roumusha tidak lain karena motivasi Jepang memenangkan perang. Dalam buku The Rice of Modern Japan, Dulles menyebutkan bahwa motivasi Jepang ekspansi ke selatan adalah faktor ekonomi, khususnya ketertarkan Jepang dalam bidang eksploitasi sumber-sumber ekonomi padi di daerah-daerah yang baru dikuasainya untuk mendukung peperangan bersama-sama minyak tanah, batu bara, karet dan lainya. Sedangakan tujuan Jepang pasca pendudukan adalah menyusun kembali rencana-rencana ekonomi bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara, dan menggairahkan kembali perekonomian Indonesia guna mendukung perang Jepang. (Hendri F. Isnaeni & Apid, 2008:53-54)
Di pulau Jawa sumber daya yang melimpah dan dapat dimanfaatkan adalah penduduknya. Oleh Jepang, penduduk tersebut dimanfaatkan tenaganya sebagai sumber daya penting selain sumber daya alam. Maka jutaan orang dimobilisasi sebagai Roumusha untuk melakukan pekerjaan berat di dalam dan luar pulau Jawa bahkan sampai ke luar wilayah Indonesia.
Pada awalnya Roumusha dipekerjakan sebagai tenaga produktif di peusahaan-perusahaan, kedudukannya sama seperti buruh biasa. Kebijakan mobilisasi mereka keluar Jawa dimaksudkan untuk menciptakan produktivitas akibat pengurangan produktivitas pertanian dan perkebunan di pulau Jawa. Roumusha juga merupakan komoditi yang dipertukarkan. Pada bulan November Angkatan Darat dan Angkatan Laut Barat Daya Tentara Selatan membuat kesepakatan mengenai pertukaran komoditi dan bahan-bahan, di mana tenaga juga merupakan komoditi yang diperlukan.
Memasuki pertengahan tahun 1943, kebijakan pengerahan Roumusha berubah menjadi usaha eksploitasi. Pengambilan dan penempatan Roumusha oleh Angkatan Perang dilakukan dengan serius. Ada tiga alasan mengapa itu dilakukan. Pertama, kondisi perang semakin memburuk bagi Jepang. Kedua, adanya tuntutan memenuhi kebutuhan sendiri (swasembada) bagi setiap Angkatan Perang di daerah pendudukan. Ketiga, adanya motivasi ekonomi yang disertakan oleh penguasa Angkatan Perang dalam setiap pengerahan Roumusha ke luar Pulau Jawa.
Mulai saat itu tenaga Roumusha bukan hanya diperlukan untuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga diperlukan untuk proyek-proyek yang secara langsung berkaitan dengan perang. Pada taraf ini permintaan terhadap Roumusha menjadi tak terkendali. Di setiap desa atau wilayah, laki-laki dan perempuan usia produktif diinventarisir oleh kepala desa atau kepala wilayah dan kemudian mereka dikenai kewajiban kerja tanpa terkecuali. Setiap saat sebuah badan yang berkaitan langsung dengan Roumusha mengkondisikan penempatan Roumusha sesuai dengan kebutuhan Angkatan Perang.
Roumusha terus mengalir ke berbagai tempat di luar Pulau Jawa. Cerita kesengsaraan dan penderitaan deras menyertai mereka. Tekanan kerja yang berat, ancaman wabah penyakit dan kekurangan pangan merupakan kondisi yang harus dihadapi. Penderitaan fisik dan psikis membawa mereka pada kematian massal dengan jumlah yang sangat luar biasa. Di Jawa umumnya Roumusha masih bisa bertahan walaupun dibebani kewajiban kerja yang sangat berat. Tetapi, bagi yang di luar Jawa sudah pasti tidak dapat bertahan dan kembali.  (Hendri F. Isnaeni & Apid, 2008:57-58)
Dalam mengatur Roumusha, pemerintah Jepang melakukan pembedaan yang jelas. Pertama, mereka yang “dikirim jauh dari rumah mereka dengan kontrak yang relatif berjangka waktu panjang” dan kedua, mereka yang “ditempatkan untuk bekerja di wilayah yang berdekatan selama jangka waktu relatif pendek”. Sekalipun keduanya di sebut Roumusha di dalam dokumen-dokumen resmi Jepang, kategori pertama ditempatkan di bawah kendali dan manajemen langsung pemerintah militer Jepang, sementara kategori kedua ditangani sebagai persoalan setempat oleh setiap residen. Lebih jauh lagi, hanya untuk yang pertamalah dibentuk organisasi perekrutan Roumu Kyoukai serta organisasi kesejahteraan BP3. Penderitaan psikologis dan mental lebih serius dan tingkat korban sesungguhnya lebih tinggi di kalangan yang disebut pertama ini. Namun, di mata rakyat, kedua kategori tesebut sama-sama merupakan korban pendudukan Jepang dengan pengertian bahwa mereka menderita sebagai tenaga kerja kasar demi keuntungan Jepang di bawah kondisi kerja yang mengerikan dan istilah Roumusha dalam sejarah Indonesia digunakan mencakup kedua jenis tersebut. (Aiko Kurasawa, 2015: 137-138)

Comments

Popular posts from this blog

KESUSASTRAAN ZAMAN JOODAI

A.    Sejarah Joodai B ungaku disebut juga sebagai kesusastraan zaman Yamato, karena kegiatan politik serta kebudayaan pada zaman tersebut berpusat di Yamato. Joodai B ungaku ini dapat dipastikan berakhir ketika ibukota pemerintahannya pindah ke Heian pada tahun 794, tetapi permulaannya tidak dapat diketahui secara pasti. Usaha penyatuan negara Jepang mengalami kemajuan sekitar abad IV sampai abad V dan di bawah D inasti Y amato ini didirikan menjadi sebuah negara kesatuan. Penerimaan kebudayaan Cina sudah terjalin sejak abad ke III. Dan pada abad ke VII dan ke VIII Jepang mengirim utusan yang disebut Kenzuishi dan Kentooshi untuk mengimpor kebudayaan Cina, seperti cara pembuatan istana, dan undang-undang yang menjadi dasar negara. Selain itu buku-buku pun banyak di datangkan dari negeri Cina. Dalam bidang pemikiran (shisooshi) pun seperti Juukyo (konfusianisme) dan pemikiran Roosoo (Lao Tzu dan Chuang Tzu) cukup banyak penggemarnya. Di samping itu agama Budha juga masu...

GENJI MONOGATARI

GENJI MONOGATARI A.       Sejarah Sastra klasik Jepang memiliki karya yang sering disetarakan dengan Shakespeare, yaitu sebuah novel abad kesebelas yang berjudul Genji Monogatari (Kisah Genji). Genji Monogatari adalah salah satu buku tertua dan paling masyhur dalam khazanah sastra klasik Jepang. Buku ini, yang dinobatkan Unesco sebagai novel pertama dunia, berkisah tentang pangeran Hikaru dari klan Genji dan petualangannya di istana kerajaan, keterlibatannya dalam serangkaian percintaan, pengkhianatan serta pengucilan politis. Di antara buku-buku klasik Jepang, Genji Monogatari termasuk karya yang sulit dibaca, bukan hanya lantaran panjangnya yang mencapai 750.000 kata tetapi juga karena ditulis dalam citarasa bahasa yang kuno. Novel ini lahir dari tangan Murasaki Shikibu, seorang wanita yang tinggal di istana kerajaan Heian (795-1192) di Kyoto. Dibesarkan di tengah keluarga gubernur Fujiwara, Murasaki tumbuh sebagai anak yang pintar dan belajar lebih...

KEDATANGAN JEPANG DI JAWA

Awal Mula Kedatangan Jepang di Jawa Serangan atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour oleh pihak Jepang memancing berlangsungnya Perang Asia Timur Raya. Dalam upayanya untuk membentuk imperium di Asia, Jepang mulai melancarkan peperangan di wilayah Pasifik. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993:1) Jepang pernah menjadi satu-satunya Negara di Asia yang mampu menjadi negara imperialis. Dengan usaha-usaha yang dilakukannya yaitu melakukan politik ekspansi ke kawasan Asia Pasifik termasuk Hindia Belanda, akhirnya memperoleh kedudukan terkemuka dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, industri dan perdagangan. Semenjak penyerangannya ke Pearl Harbour, gerakan invasi militer Jepang dengan cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara merupakan wilayah yang dalam perhitungan Jepang harus diduduki terlebih dahulu sebagai daerah yang cukup kaya, sehingga dapat dijadikan benteng untuk mengamankan kekuasaan Jepang. (Cahyo Budi Utomo, 199...