2.3
Pelaksanaan Roumusha
2.3.1 Roumu
Kyoukai dan sistem perekrutan
Dalam menangani Roumusha, masalah terbesar bagi Jepang
ialah bagaimana mengumpulkan tenaga kerja secukupnya untuk memenuhi permintaan
dari wilayah-wilayah yang berdekatan. Bahkan, di Jawa pun dengan kepadatan penduduk
yang tinggi masih sangat sulit untuk memasok tenaga kerja secara kolektif dan
bersinambungan. Menurut perkiraan yang diperoleh pihak penguasa Jepang pada
November 1944, penduduk usia kerja di Jawa (15-40 tahun) berjumlah 24.985.630
(11.588.018 laki-laki dan 12.497.815 wanita), dan dari jumlah tersebut
12.497.815 (5.794.014 laki-laki dan 6.698.801 wanita) dianggap sehat untuk
dimobilisasikan. Pada kenyataanya, bahwa setiap lelaki dan wanita antara usia
14-45 tahun cocok untuk menjadi Roumusha
dengan pengecualian sebagai berikut.
a.
Gunjin atau Gunzo (orang-orang
Nippon dan Gunseireibu atau Gunseikanbu);
b.
Tentara
Soeka-Rela Pembela Tanah-Air (PETA) dan Heiho;
c.
Mereka
jang dianggap badannja lemah dan tidak tahan bekerdja;
d.
Mereka
jang sedang dalam merawat anak atau orang toea jang sedang sakit, jang dianggap
berbahaja bila ditinggakkannjaa dan orang tjatjat;
e.
Dija
dianggap berhalangan oetoek kehidoepan keloearga mereka;
f.
Mereka
jang dipendjara (orang hoekoeman).
Jepang membuat
prinsip resmi bahwa Roumusha harus
didaftar semata-mata atas keinginannya sendiri. Sampai tingkat tertentu, hal
ini terjadi pada tahap sangat awal, ketika rakyat belum memperoleh gambaran
yang pasti tentang apa sebenarnya Roumusha
itu dan masih ada janji upah tetap, serta makanan yang dapat menarik sebagian
penganggur yang menderita kelaparan. Namun, seiring perjalanan waktu, ketika
nasib Roumusha yang menyedihkan mulai
dikenal, hampir tidak mungkin mengaharapkan pendaftaran secara sukarela. Semua
jenis tekanan, seperti bujukan dan ancaman harus diberlakukan oleh penguasa.
Pada masa sebelumnya, perekrutan hanya dijalankan melalui saluran pemerintah
oleh pangreh praja, dan tidak terdapat lembaga tertentu untuk mendukungnya. Baru
pada akhir 1943, pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih luas bagi
perekrutan Roumusha.
Pada sidang pertama
Dewan Penasihat Pusat (Chuuoo Sangiin)
pada 15-20 Oktober, sebuah usulan dibuat untuk membentuk organisasi perekrutan Roumusha. Usul ini segera dilaksanakan
oleh pemerintah militer. Dalam konferensi yang diselenggarakan pada November
yang dihadiri para utusan Seksi Urusan Dalam Keresidenan diumumkan bahwa sebuah
organisasi yang disebut Roumu Kyoukai
(Perhimpunan Urusan Buruh) harus dibentuk pada setiap keresidenan, kesultanan dan
kota tertentu di bawah pengawasan pemerintah. Organisasi ini menjalankan
fungsi-fungsi sebagai berikut.
a.
Untuk
meningkatkan semangat kerja;
b.
Penelitian
atas pemasokan tenaga kerja dan pendaftaran calon tenaga kerja;
c.
Perekrutan
Roumusha;
d.
Pengangkutan
Roumusha;
e.
Memberi
bantuan kepada keluarga Roumusha yang
ditinggalkan;
f.
Mengatur
pengiriman uang dan surat dari Roumusha
ke keluarga mereka;
g.
Meninjau
tempat kerja Roumusha dan menghibur
mereka;
h.
Mengatur
tempat tinggal Roumusha;
i.
Lain-lain
yang diperintahkan oleh Shuuchoukan.
Roumu Kyoukai terutama bekerja untuk Roumusha yang dikirim ke luar residenan dan tidak untuk mereka yang
bekerja di daerah yang berdekatan. Hal ini berarti bahwa Roumu Kyoukai pada umumnya lebih aktif dan menyandang peran lebih
penting dalam keresidenan yang kelebihan tenaga kerja.
2.3.2 Lokasi dan jenis tenaga kerja
Roumusha dipaksa bekerja tidak hanya di daerah yang berdekatan, tetapi diangkut
kemanapun sesuai tuntutan kebutuhan tenaga kerja oleh pihak Jepang. Adapun
jenis-jenis pekerjaan dimana tenaga kerja Roumusha
diizinkan untuk dimanfaatkan sebagai berikut :
a.
Menyelenggarakan
pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan bala tentara dan pembelaan tanah
air.
b. Memperbaiki
dan menambah produksi bahan-bahan keperluan bala tentara, persenjataan dan
lain-lain.
c.
Menambah
penghasilan bahan-bahan makanan yang penting.
d.
Menyelenggarakan
pengangkutan dan perhubungan.
e.
Pekerjaan
penting lainnya pada masa perang.
Pekerjaan yang
termasuk dalam kategori-kategori ini, misalnya pembangunan infrastruktur,
lapangan terbang, banteng pantai, lubang perlindungan, parit perlindungan dan
pabrik amunisi yang semuanya membutuhkan pekerjaan yang kasar dan berat.
Di Jawa, Banten
yang terutama menerima Roumusha dari
luar. Dari 17 keresidenan dan 2 kerajaan di Jawa, Banten mempunyai kepadatan
penduduk yang paling rendah, yakni 129,33 orang per kilometer persegi,
sementara rata-rata di Jawa adalah 315,63 orang per kilometer persegi pada masa
itu. Daerah ini merupakan salah satu yang terbelakang di Jawa dan disana Jepang
menemukan kemungkinan besar bagi perkembangan ekonomi. Perhatian besar terutama
diberikan pada pembangunan wilayah selatan keresidenan ini sebagai wilayah
dengan populasi jarang dan sangat terbelakang. Beberapa proyek berskala besar
dilakukan proyek tersebut membutuhkan banyak tenaga.
Salah satu
diantaranya adalah pembangunan jalur kereta api antara Seketi dan Bayah,
panjangnya sekitar 150 kilometer, menghubungkan jalur ketera api yang sudah ada
antara Labuhan dan Jakarta dengan wilayah pantai selatan keresidenan tersebut
dimana terdapat deposit tambang.
Sampai
diselesaikan pada April 1944, sejumlah besar tenaga kerja dimobilisasikan dan
dikabarkan bahwa sekitar 10.000 orang meninggal akibat kerja berat. Tan Malaka
yang bekerja di Bayah sebagai seorang pengawas Roumusha pada saat itu,
membandingkan pembangunan ini dengan jalan kereta api dan jalan raya antara
Anyer dan Banyuwangi pada masa Belanda, ketika sejumlah besar kuli paksaan
dimobilisasikan dan ribuan orang diantaranya meninggal. Di samping jalan kereta
api, juga terdapat pembangunan jalan raya di selatan Banten antara Malimping
dan Bayah, serta pembangunan lapangan terbang di Gembor (Serang).
Bersamaan dengan
pembangunan jalan tersebut, ada pembangunan pertambangan di selatan Banten. Di
Bayah, Kabupaten Lebak, pembangunan batu bara dimulai pada Juli 1942. Tambang
ini merupakan pertambangan batu bara baru yang pertama kali dieksploitasi
melalui perintah Angkatan Darat ke-16 pada Juli 1942. Mula-mula pelaksanaanya
dilakukan oleh pemerintah militer Jepang, tetapi kemudian dipercayakan kepada
Perusahaan Pertambangan Sumitomo. Tambang batu bara di Bayah tidak besar,
tetapi Jepang sangat bersungguh-sungguh memperolehnya karena merupakan sumber
satu-satunya di Jawa dan pasokan dari luar sangat sulit.
Pada awal 1944,
sekitar 16.000 Roumusha bekerja di
sana. 11 kilometer dari Bayah terdapat tambang emas Cikotok yang telah
dieksploitasi sejak Zaman Belanda. Perusahaan Pertambangan Mitsui dipercayakan
untuk mengaturnya dan memulai operasinya pada Desember 1943. Pada masa Jepang,
yang diekspoitasi tidak hanya emas, tetapi juga timah dan seng dengan
menggunakan sekitar 1.200 Roumusha perhari.
Dengan demikian,
Banten menjadi pusat kerja Roumusha
yang penting dan puluhan ribu Roumusha
dikirim ke sana secara bergiliran dengan masa kontrak selama 3 bulan. Banyak
dari mereka yang berasal dari pantai utara Jawa Barat, termasuk dari particuliere landerijen ( tuan tanah) di
keresidenan Jakarta. Selain itu, banyak catatan informan menyatakan bahwa Roumusha yang melarikan diri sering
ditemukan terlunta-lunta atau meninggal di sekitar Stasiun Tanah Abang yang
merupakan terminal jalur kereta api antara Jakarta dan Serang ibukota Banten
serta dipinggiran jalan pantai antara Jakarta dan Indramayu.
Di samping
mereka yang dikirim ke Banten, banyak di antaranya yang dikirim ke luar Jawa.
Mereka diangkut ke hampir semua bagian Asia Tenggara dan beberapa bagian
wilayah Pasifik Selatan, tempat dilaksanakannya proyek-proyek strategis serta industri
perpabrikan. Dengan demikian, daerah tujuan pengiriman Roumusha Jawa juga termasuk Sumatera, Sulawesi, Borneo, Papua
Nugini, Malaya, Singapura, Inggris, Indocina Prancis, Thailand dan pulau-pulau
di Pasifik Selatan.
Salah satu
proyek besar di Asia Tenggara yang melibatkan Roumusha Jawa adalah pembangunan jalan kereta api Burma-Siam yang
dimulai pada Juni 1942 dan berakhir Oktober 1943. Jalan kereta api sepanjang
414 kilometer ini terbentang antara Nong Pla Duk di Thailand dan Thanbyuzayet
di Burma. Untuk pembangunan ini, ribuan tenaga kerja dimobilisasikan. Di
antaranya terdapat 55.000 tawanan perang Sekutu dan lebih 100.000 Roumusha Asia Tenggara yang meliputi
orang Burma, Thai, Melayu, India, Cina dan Jawa. 33.000 Roumusha di antaranya meninggal. Menurut Kasmijan Jososoeprapto,
seorang teknisi yang bekerja pada Djawatan Kereta Api di Yogyakarta yang dibawa
ke daerah ini untuk bekerja di jalur kereta api, sekitar 15.000 Roumusha Jawa diangkut bersamanya pada
MAret 1943. Bahkan setelah diselesaikan pada Oktober 1943, Roumusha dipekerjakan membabat hutan di dekatnya untuk mencari kayu
bahan bakar kereta api yang baru dijalankan dan baru setelah perang mereka bisa
dikembalikan ke negeri asal.
Roumusha yang dikirim ke medan pertempuran di Pasifik Selatan lebih menderita.
Meskipun jumlahnya tidak banyak, Roumusha
Jawa juga dikirim ke Pulau Guadalcanal. Pada September 1942, tentara Jepang
diperintahkan pergi ke Pulau Guadalcanal untuk menghadapi kemungkinan serangan
baru dengan membawa sekitar 20 buruh paksa Jawa untuk membangun sebuah lapangan
terbang. Pertempuran besar antara pasukan Jepang dan Amerika pada thaun 1943
menyebabkan puluhan ribu tentara Jepang meninggal, para Roumusha Jawa tersebut pastilah mengalami nasib serupa. (Aiko Kurasawa,
2015:155-158)
2.3.3 Upah
Seharusnya Roumusha dibayar, meskipun beberapa di
antaranya menyatakan bahwa mereka tidak dibayar. Pada “Persetujuan Pemasokan Roumusha Antara Angkatan Darat dan
Angkatan Laut” yang dilangsungkan pada July 1943 antara Angkatan Darat ke-16 di
Jawa dan penguasa Angkatan Laut Jepang di Makassar, diputuskan bahwa upah
mula-mula Roumusha yang dikirim ke
wilayah angkatan laut haruslah F.0,50 per hari dan F.3,00 harus dikirim kepada
keluarga mereka setiap bulan. Bagi mereka yang bekerja di Jawa, upah harian
mula-mula ditetapkan F.0,35 terlepas dari usia atau tempat kerja, tetapi
kemudian pada November 1944 ketetapan ini diperbaiki sebagaimana terlihat pada
table berikut.
Namun, sangat
meragukan bahwa peraturan dan ketetapan semacam itu benar-benar dijalankan. Mengenai
upah yang sesungguhnya diterima Roumusha,
informasi yang agak bisa dipercaya dapat diperoleh dari laporan-laporan
interogasi NEFIS (Netherlands Expedicionary Forces Intelligence Service) yang
dikumpulkan atas dasar interogasi Roumusha
yang ditangkap oleh pasukan Sekutu selama dan segera setelah perang usai. Upah Roumusha dalam laporan ini bebeda-beda,
bergantung pada jenis pekerjaanya, wilayah, waktu dan kemampuan, serta tanggung
jawab perseorangan. Upah juga berbeda bergantung pada bagaiman mereka
menghitungnya. Beberapa menyatakan pendapatan kotor, sementara lainya
melaporkan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya makan, tabungan dan
kiriman kepada keluarga yang sebelumnya disisihkan oleh atasan. Menurut Roumusha Madura dan Jawa, seorang mandor
dibayar F.0,75 dan seorang Roumusha
biasa sebesar F.0,43 per hari.
Dari seluruh
sumber informasi tersebut serta sajian yang dijelaskan sebelumnya, dapat
diperkirakan bahwa seorang biasa dibayar antara F.0,40 dan F.0,50 per hari,
sementara seorang mandor dibayar sedikit lebih tinggi. Namun, biaya makanan dan
kiriman kepada keluarga diambil dari sana menyebabkan upah yang sesungguhnya
mereka terima jauh lebih kecil, mungkin sekitar F.0,20 sampai F.0,25. Betapa
pun kecilnya upah, mereka yang dibayar sesuai dengan yang dijanjikan masih
lebih kaya. Beberapa Roumusha sama
sekali tidak dibayar atau dibayar jauh lebih kecil daripada kontrak. Pembenaran
yang dilakukan oleh atasan mereka ialah uang tersebut dikirim langsung kepada
keluarga mereka di Jawa. Akan tetapi, dalam banyak kasus, keluarga mereka tidak
menerima apapun, atau jika menerimanya, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang
seharusnya. Anggaran tetap telah dialokasikan oleh penguasa militer Jepang
sebagi upah Roumusha Jepang, tetapi
yang dianggarkan tersebut tidak sampai ke tangan buruh. Mungkin hal ini
sebagian karena penggelapan oleh para kerani yang mempunyai kedudukan untuk
megatur Roumusha. Dalam kasus-kasus
lain, upah tersebut telah dibayarkan sebelumnya menjelang keberangkatan
seseorang sebagai uang persiapan, tetapi diambil oleh pejabat yang bertugas
dalam proses perekrutan. (Aiko Kurasawa, 2015:159-161)
2.3.4
Lingkungan hidup dan kerja
Rendahnya upah bukanlah persoalan paling serius. Tragedi
terbesar dari Roumusha adalah
cara-cara tak manusiawi yang diberlakukan pada mereka. Ada kemungkinan Roumusha dianggap seolah-olah barang
yang dapat dihabiskan dan selalu bisa diganti, dan sedikit sekali upaya menaruh
perhatian untuk mencegah atau mengurangi kelelahan mereka. Seolah-olah ada
perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok Roumusha baru daripada mengambil resiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit. Dengan demikian,
puluhan ribu Roumusha kehilangan nyawa mereka karena kurangnya pencegahan
yang dilakukan Jepang. Bahkan, sebelum sampai ke tempat kerja mereka, beberapa
meninggal karena kondisi pengapalan yang sangat buruk. Sebagaimana disinggung
di atas, banyak yang meninggal di atas kapal dan jenazah mereka dilemparkan ke laut
tanpa upacara keagamaan apapun. Kematian di perjalanan tidak hanya disebabkan
oleh kondisi makanan dan kesehatan yang buruk, tetapi juga akibat pengeboman
pasukan sekutu.
Sebagian besar Roumusha
yang berasal dari masyarakat pedesaan dan kurang memiliki pengalaman pekerjaan
di luar pertanian tidak begitu terbiasa dengan pekerjaan yang ditugaskan pada
mereka. Jam kerja biasanya berlangsung lama sepanjang hari dan hal itu sangat
melelahkan di daerah tropis. Selain itu, mereka jarang diberi hari libur sehingga
mudah lelah dan menderita penyakit. Kecelakaan selama bekerja juga merupakan
hal yang biasa. Salah seorang informan mengatakan bahwa selama menjadi Roumusha, ia tidak pernah dipanggil
dengan nama, tetapi hanya dipanggil dengan menyebut nomor registrasinya.
Makanan juga menyedihkan. Mereka disediakan makanan,
tetapi umumnya sangat buruk dan hampir semua informan mengeluh tentang hal ini.
Dalam kenyataan, pemerintah militer telah mengatur standar pencatuan yang
diberikan kepada Roumusha yang tidak
begitu buruk.
Menurut Tan Malaka, seorang Roumusha biasa diberi 250 gram beras, sementara seorang mandor
memperoleh 400 gram per hari di Bayah, Banten. Dapat diperkirakan bahwa di
daerah-daerah lain diterapkan standar yang lebih kurang sama. Mengingat bahwa
konsumsi beras sebelum perang di kalangan penduduk Indonesia rata-rata sekitar
230 gram per hari, jumlah tersebut sangat mencukupi dan tidak seburuk
sebagaimana dituduhkan oleh informan.
Agaknya, porsi makanan yang sesungguhnya diberikan
di kamp-kamp Roumusha tidak sebanding
dengan standar ini, dan mayoritas Roumusha
menderita kelaparan. Hal ini mungkin karena situasi tidak mengizinkan penguasa
untuk mengikuti standar. Mereka dihadapkan dengan keadaan sangat langkanya
jatah militer dan tidak bisa menyisihkan sebanyak yang semula direncanakan
untuk diberikan kepada Roumusha. Akan
tetapi, mungkin juga sebagian karena jatah diambil oleh orang-orang yang
bertanggung jawab atas pembagiannya. Mungkin kerani dan mandor menipu Roumusha yang berada di bawah
kekuasaanya.
Kondisi yang membuat situasi ini lebih buruk pada
umumnya ialah Roumusha sulit sekali
memperoleh makanan tambahan dengan uang mereka sendiri karena sebagian besar
lokasi kerja jauh dari tempat pemukiman penduduk.
Untuk memelihara kesehatan Roumusha, beberapa sarana kesehatan disediakan di kamp-kamp Roumusha yang besar. Namun, apabila
dibandingkan dengan jumlah pekerja yang bertugas, jumlah tenaga kesehatan dan
obat-obatan sangat jauh dari mencukupi. Ratusan
Roumusha menderita akibat penyakit
dan kelelahan, dan beberapa di antaranya meninggal. Seorang informan dalam
kesaksian menyatakan bahwa muncul desas-desus kalau sekali sesorang diangkut ke
klinik, ia tidak akan kembali hidup-hidup. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya
kondisi yang dibawa ke klinik serta betapa tingginya mortalitas.
Di samping kelelahan fisik dan kondisi kesehatan
yang buruk, Roumusha juga dihadapkan
pada bahaya serangan udara sekutu. Karena sebagian besar Roumusha mengerjakan proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan
perang, tempat kerja mereka sering menjadi sasaran serangan udara. (Aiko Kurasawa,
2015:161-165)
2.3.5
Badan Pembantoe Pradjoerit Pekerdja (BP3) dan upaya-upaya untuk meningkatkan kondisi kerja
Kondisi yang menyedihkan bagi Roumusha menarik perhatian para pemimpin nasionalis. Mereka
melakukan tekanan terhadap pemerintahan militer untuk meningkatkan kehidupan Roumusha. Upaya pertama adalah usulan
pada Sidang ke-4 Dewan Pertimbangan Pusat (Chuuoo
Sangiin) pada Agustus 1944, mengenai sebuah organisasi untuk menangani
kesejahteraan umum Roumusha serta
keluarga mereka yang disebut Badan Pembantoe Pradjoerit Pekerdja (BP3). Ini
merupakan sebuah organisasi untuk memantau kondisi kerja serta untuk menawarkan
bantuan spiritual dan material kepada keluarga Roumusha. Usul tersebut diterima dan segera dilaksanakan. Kantor
pusat BP3 dibentuk di Jakarta dengan Moh. Hatta sebagai ketuanya (Kaichou) dan menyusul pembentukan cabang-cabang
setempat di seluruh Jawa. Ia mempunyai jaringan vertikal yang menjangkau ke
bawah sampai ke kalangan bawah dan pada setiap jenjang kepala unit pemerintahan
yaitu residen, bupati, wedana, camat dan kepala desa bertindak sebagai
pelindungnya.
Menurut buku pegangan yang diterbitkan organisasi
ini pada Oktober 1944 berjudul “Peratoeran
Dasar dan Peratoeran Choesoes Kinroo Senshi Engokai (Badan Pembantoe
Peradjoerit Pekerdja)”, organisasi ini merupakan sebuah organisasi sosial yang
didukung oleh sukarelawan, tetapi disubsidi oleh pemerintah militer serta
dijalankan atas kerja sama dengan Biro Tenaga Kerja pemerintah militer (Romukyoku). Fungsinya adalah sebagai
berikut.
1. Membangoenkan
dan mengobar-ngobarkan semangat, kemaoean dan kegembiraan bekerdja di kalangan
pendoedoek di Djawa di dalam segala lapangan.
2. Menginsjafkan
kaoem pekerdja dan keloearganja tentang arti Peperangan Asia Timoer Raja dan
menggerakan mereka oentoek membantoe peperangan itoe dengan ichlas dan
sekoeat-koeat tenaga.
3. Membantoe
pendaftaran tjalon pekerdja.
4. Mendjaga
dan mengoeroes penghidoepan keloearga peradjoerit pekerdja jang sedang
mendjalankan kewadjibannja ataoe tewas dan mendapat sakit diwaktoe mendjalankan
kewadjibannja.
5. Memperhatikan
kedoedoekan pekerdja.
6. Mengoeroes
penghidoepan pekerdja jang mendapat ketjelakaan diwaktoe mendjalankan kewadjibannja
jang sesoedah semboeh tidak dapat bekerdja lagi.
7. Mengadakan
penghormatan oentoek pekerdja jang tewas dalam melakoekan kewadjibannja,
menoeroet agama dan adat istiadatnja.
8. Membantoe
meringankan penderitaan pekerdja jang mendapat sakit ketika mendjalankan
kewadjibannja.
9. Mengadakan
penghiboeran bagi pekerdja dan keloearganja.
10. Lain-lain
oesaha yang sah.
Namun, tampaknya
BP3 tidak berfungsi sebaik yang diharapkan dan situasinya tidak banyak
meningkat. Setelah usulan-usulan ini dibuat, beberapa langkah baru dilakukan
oleh pemerintah militer demi kesejahteraan Roumusha
yang agaknya merupakan tanggapan atas usul-usul ini. Salah satunya ialah
mengenai keputusan bahwa keluarga Roumusha
yang dikirim ke luar Jawa setiap bulan diberi tunjangan sebesar F.10.000 oleh Romukyokai dan keluarga mereka yang
dikirim ke keresidenan lain di Jawa akan diberi F.3,00. Selain itu, diputuskan
bahwa sebuah tanda yang menunjukan ‘rumah prajurit pekerja’ akan dibagikan oleh
pemerintah setempat kepada keluarga Roumusha.
Tindakan lain
yang diambil pada tahap akhir pendudukan Jepang ini ialah dikeluarkannya
peraturan “pertolongan Roumusha yang
megalami kecelakaan” (Koujou Jigyouba
Roumusha Saigai Fujo Youryou) pada 14
Februari 1945. Menurut peraturan ini, mereka yang mengalami kecelakaan
sewaktu bekerja dan memerlukan opname, seluruh biaya yang diperlukan bagi
pengobatan dan selama opname akan dijamin, dan upahnya dibayarkan sebagai
berikut : bulan pertama 80% dari upah; bulan kedua sampai keenam 50% dari upah;
setelah bulan keenam, yang setara dengan upah 350 hari, dibayarkan sekaligus
sebagai pesangon.
Apabila Roumusha yang mengalami kecelakaan tetap
cacat setelah pengobatan selesai akan dibayarkan kompensasi menurut tingkat kecacatannya.
Apabila seorang Roumusha meninggal
karena kecelakaan upah kerja selama 300 hari akan dibayarkan kepada
keluarganya. Semua biaya ini dibayar oleh yang mempekerjakan mereka.
Peraturan-peraturan ini baru ditetapkan pada tahap-tahap akhir masa pendudukan
dan belum dilaksanakan ketika Jepang menyerah. (Aiko Kurasawa, 2015:167-170)
2.3.6
Asrama Roumusha
Asrama untuk Roumusha
dibuat dua macam, yaitu :
1. Asrama
Roumusha untuk yang berkeluarga.
Berupa bangunan yang memanjang dari utara ke selatan
atau dari barat ke timur dengan lebar 3 meter dan panjang 50 meter. Bangunan
kemudian di sekat-sekat menyerupai kamar-kamar ukuran 3x3 meter. Setiap
keluarga Roumusha menempati satu
kamar untuk di tempati bersama selama bekerja di pertambangan Bayah.
2. Asrama
untuk Roumusha muda atau yang tidak
berkeluarga.
Bentuk awal bangunan serupa dengan asrama untuk Roumusha yang berkeluarga dengan lebar
10 meter dan panjang 50 meter. Yang membedakan, bangunan tersebut tidak dibuat
kamar-kamar tetapi dibiarkan terbuka memanjang tanpa sekat. Kemudian bangunan
tersebut ditempati 50 hingga 100 orang Roumusha
secara bersama-sama.
Kontruksi bangunan untuk asrama terdiri dari kayu
dan bambu. Tiang-tiangnya menggunakan kayu, dindingnya menggunakan anyaman
bambu, lantainya dari bilah-bilah bambu dan atapnya terbuat dari daun pohon
sagu atau rumbia. Tidak digunakan paku untuk menyatukan bagian-bagian bangunan,
tetapi digunakan semacam tali dari ijuk pohon sagu. Itulah sebabnya
bangunan-bangunan Roumusha ini tidak
dapat bertahan lama. (Hendri F. Isnaeni&Apid,2008:131)
Comments
Post a Comment