Skip to main content

PELAKSANAAN ROUMUSHA

2.3   Pelaksanaan Roumusha
2.3.1 Roumu Kyoukai dan sistem perekrutan
Dalam menangani Roumusha, masalah terbesar bagi Jepang ialah bagaimana mengumpulkan tenaga kerja secukupnya untuk memenuhi permintaan dari wilayah-wilayah yang berdekatan. Bahkan, di Jawa pun dengan kepadatan penduduk yang tinggi masih sangat sulit untuk memasok tenaga kerja secara kolektif dan bersinambungan. Menurut perkiraan yang diperoleh pihak penguasa Jepang pada November 1944, penduduk usia kerja di Jawa (15-40 tahun) berjumlah 24.985.630 (11.588.018 laki-laki dan 12.497.815 wanita), dan dari jumlah tersebut 12.497.815 (5.794.014 laki-laki dan 6.698.801 wanita) dianggap sehat untuk dimobilisasikan. Pada kenyataanya, bahwa setiap lelaki dan wanita antara usia 14-45 tahun cocok untuk menjadi Roumusha dengan pengecualian sebagai berikut.
a.         Gunjin atau Gunzo (orang-orang Nippon dan Gunseireibu atau Gunseikanbu);
b.         Tentara Soeka-Rela Pembela Tanah-Air (PETA) dan Heiho;
c.         Mereka jang dianggap badannja lemah dan tidak tahan bekerdja;
d.        Mereka jang sedang dalam merawat anak atau orang toea jang sedang sakit, jang dianggap berbahaja bila ditinggakkannjaa dan orang tjatjat;
e.         Dija dianggap berhalangan oetoek kehidoepan keloearga mereka;
f.          Mereka jang dipendjara (orang hoekoeman).
Jepang membuat prinsip resmi bahwa Roumusha harus didaftar semata-mata atas keinginannya sendiri. Sampai tingkat tertentu, hal ini terjadi pada tahap sangat awal, ketika rakyat belum memperoleh gambaran yang pasti tentang apa sebenarnya Roumusha itu dan masih ada janji upah tetap, serta makanan yang dapat menarik sebagian penganggur yang menderita kelaparan. Namun, seiring perjalanan waktu, ketika nasib Roumusha yang menyedihkan mulai dikenal, hampir tidak mungkin mengaharapkan pendaftaran secara sukarela. Semua jenis tekanan, seperti bujukan dan ancaman harus diberlakukan oleh penguasa. Pada masa sebelumnya, perekrutan hanya dijalankan melalui saluran pemerintah oleh pangreh praja, dan tidak terdapat lembaga tertentu untuk mendukungnya. Baru pada akhir 1943, pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih luas bagi perekrutan Roumusha.
Pada sidang pertama Dewan Penasihat Pusat (Chuuoo Sangiin) pada 15-20 Oktober, sebuah usulan dibuat untuk membentuk organisasi perekrutan Roumusha. Usul ini segera dilaksanakan oleh pemerintah militer. Dalam konferensi yang diselenggarakan pada November yang dihadiri para utusan Seksi Urusan Dalam Keresidenan diumumkan bahwa sebuah organisasi yang disebut Roumu Kyoukai (Perhimpunan Urusan Buruh) harus dibentuk pada setiap keresidenan, kesultanan dan kota tertentu di bawah pengawasan pemerintah. Organisasi ini menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut.
a.       Untuk meningkatkan semangat kerja;
b.      Penelitian atas pemasokan tenaga kerja dan pendaftaran calon tenaga kerja;
c.       Perekrutan Roumusha;
d.      Pengangkutan Roumusha;
e.       Memberi bantuan kepada keluarga Roumusha yang ditinggalkan;
f.       Mengatur pengiriman uang dan surat dari Roumusha ke keluarga mereka;
g.      Meninjau tempat kerja Roumusha dan menghibur mereka;
h.      Mengatur tempat tinggal Roumusha;
i.        Lain-lain yang diperintahkan oleh Shuuchoukan.
Roumu Kyoukai terutama bekerja untuk Roumusha yang dikirim ke luar residenan dan tidak untuk mereka yang bekerja di daerah yang berdekatan. Hal ini berarti bahwa Roumu Kyoukai pada umumnya lebih aktif dan menyandang peran lebih penting dalam keresidenan yang kelebihan tenaga kerja.

2.3.2 Lokasi dan jenis tenaga kerja
Roumusha dipaksa bekerja tidak hanya di daerah yang berdekatan, tetapi diangkut kemanapun sesuai tuntutan kebutuhan tenaga kerja oleh pihak Jepang. Adapun jenis-jenis pekerjaan dimana tenaga kerja Roumusha diizinkan untuk dimanfaatkan sebagai berikut :
a.    Menyelenggarakan pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan bala tentara dan pembelaan tanah air.
b.   Memperbaiki dan menambah produksi bahan-bahan keperluan bala tentara, persenjataan dan lain-lain.
c.    Menambah penghasilan bahan-bahan makanan yang penting.
d.   Menyelenggarakan pengangkutan dan perhubungan.
e.    Pekerjaan penting lainnya pada masa perang.
Pekerjaan yang termasuk dalam kategori-kategori ini, misalnya pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, banteng pantai, lubang perlindungan, parit perlindungan dan pabrik amunisi yang semuanya membutuhkan pekerjaan yang kasar dan berat.
Di Jawa, Banten yang terutama menerima Roumusha dari luar. Dari 17 keresidenan dan 2 kerajaan di Jawa, Banten mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah, yakni 129,33 orang per kilometer persegi, sementara rata-rata di Jawa adalah 315,63 orang per kilometer persegi pada masa itu. Daerah ini merupakan salah satu yang terbelakang di Jawa dan disana Jepang menemukan kemungkinan besar bagi perkembangan ekonomi. Perhatian besar terutama diberikan pada pembangunan wilayah selatan keresidenan ini sebagai wilayah dengan populasi jarang dan sangat terbelakang. Beberapa proyek berskala besar dilakukan proyek tersebut membutuhkan banyak tenaga.
Salah satu diantaranya adalah pembangunan jalur kereta api antara Seketi dan Bayah, panjangnya sekitar 150 kilometer, menghubungkan jalur ketera api yang sudah ada antara Labuhan dan Jakarta dengan wilayah pantai selatan keresidenan tersebut dimana terdapat deposit tambang.
Sampai diselesaikan pada April 1944, sejumlah besar tenaga kerja dimobilisasikan dan dikabarkan bahwa sekitar 10.000 orang meninggal akibat kerja berat. Tan Malaka yang bekerja di Bayah sebagai seorang pengawas Roumusha pada saat itu, membandingkan pembangunan ini dengan jalan kereta api dan jalan raya antara Anyer dan Banyuwangi pada masa Belanda, ketika sejumlah besar kuli paksaan dimobilisasikan dan ribuan orang diantaranya meninggal. Di samping jalan kereta api, juga terdapat pembangunan jalan raya di selatan Banten antara Malimping dan Bayah, serta pembangunan lapangan terbang di Gembor (Serang).
Bersamaan dengan pembangunan jalan tersebut, ada pembangunan pertambangan di selatan Banten. Di Bayah, Kabupaten Lebak, pembangunan batu bara dimulai pada Juli 1942. Tambang ini merupakan pertambangan batu bara baru yang pertama kali dieksploitasi melalui perintah Angkatan Darat ke-16 pada Juli 1942. Mula-mula pelaksanaanya dilakukan oleh pemerintah militer Jepang, tetapi kemudian dipercayakan kepada Perusahaan Pertambangan Sumitomo. Tambang batu bara di Bayah tidak besar, tetapi Jepang sangat bersungguh-sungguh memperolehnya karena merupakan sumber satu-satunya di Jawa dan pasokan dari luar sangat sulit.
Pada awal 1944, sekitar 16.000 Roumusha bekerja di sana. 11 kilometer dari Bayah terdapat tambang emas Cikotok yang telah dieksploitasi sejak Zaman Belanda. Perusahaan Pertambangan Mitsui dipercayakan untuk mengaturnya dan memulai operasinya pada Desember 1943. Pada masa Jepang, yang diekspoitasi tidak hanya emas, tetapi juga timah dan seng dengan menggunakan sekitar 1.200 Roumusha perhari.
Dengan demikian, Banten menjadi pusat kerja Roumusha yang penting dan puluhan ribu Roumusha dikirim ke sana secara bergiliran dengan masa kontrak selama 3 bulan. Banyak dari mereka yang berasal dari pantai utara Jawa Barat, termasuk dari particuliere landerijen ( tuan tanah) di keresidenan Jakarta. Selain itu, banyak catatan informan menyatakan bahwa Roumusha yang melarikan diri sering ditemukan terlunta-lunta atau meninggal di sekitar Stasiun Tanah Abang yang merupakan terminal jalur kereta api antara Jakarta dan Serang ibukota Banten serta dipinggiran jalan pantai antara Jakarta dan Indramayu.
Di samping mereka yang dikirim ke Banten, banyak di antaranya yang dikirim ke luar Jawa. Mereka diangkut ke hampir semua bagian Asia Tenggara dan beberapa bagian wilayah Pasifik Selatan, tempat dilaksanakannya proyek-proyek strategis serta industri perpabrikan. Dengan demikian, daerah tujuan pengiriman Roumusha Jawa juga termasuk Sumatera, Sulawesi, Borneo, Papua Nugini, Malaya, Singapura, Inggris, Indocina Prancis, Thailand dan pulau-pulau di Pasifik Selatan.
Salah satu proyek besar di Asia Tenggara yang melibatkan Roumusha Jawa adalah pembangunan jalan kereta api Burma-Siam yang dimulai pada Juni 1942 dan berakhir Oktober 1943. Jalan kereta api sepanjang 414 kilometer ini terbentang antara Nong Pla Duk di Thailand dan Thanbyuzayet di Burma. Untuk pembangunan ini, ribuan tenaga kerja dimobilisasikan. Di antaranya terdapat 55.000 tawanan perang Sekutu dan lebih 100.000 Roumusha Asia Tenggara yang meliputi orang Burma, Thai, Melayu, India, Cina dan Jawa. 33.000 Roumusha di antaranya meninggal. Menurut Kasmijan Jososoeprapto, seorang teknisi yang bekerja pada Djawatan Kereta Api di Yogyakarta yang dibawa ke daerah ini untuk bekerja di jalur kereta api, sekitar 15.000 Roumusha Jawa diangkut bersamanya pada MAret 1943. Bahkan setelah diselesaikan pada Oktober 1943, Roumusha dipekerjakan membabat hutan di dekatnya untuk mencari kayu bahan bakar kereta api yang baru dijalankan dan baru setelah perang mereka bisa dikembalikan ke negeri asal.
Roumusha yang dikirim ke medan pertempuran di Pasifik Selatan lebih menderita. Meskipun jumlahnya tidak banyak, Roumusha Jawa juga dikirim ke Pulau Guadalcanal. Pada September 1942, tentara Jepang diperintahkan pergi ke Pulau Guadalcanal untuk menghadapi kemungkinan serangan baru dengan membawa sekitar 20 buruh paksa Jawa untuk membangun sebuah lapangan terbang. Pertempuran besar antara pasukan Jepang dan Amerika pada thaun 1943 menyebabkan puluhan ribu tentara Jepang meninggal, para Roumusha Jawa tersebut pastilah mengalami nasib serupa. (Aiko Kurasawa, 2015:155-158)

2.3.3 Upah
Seharusnya Roumusha dibayar, meskipun beberapa di antaranya menyatakan bahwa mereka tidak dibayar. Pada “Persetujuan Pemasokan Roumusha Antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut” yang dilangsungkan pada July 1943 antara Angkatan Darat ke-16 di Jawa dan penguasa Angkatan Laut Jepang di Makassar, diputuskan bahwa upah mula-mula Roumusha yang dikirim ke wilayah angkatan laut haruslah F.0,50 per hari dan F.3,00 harus dikirim kepada keluarga mereka setiap bulan. Bagi mereka yang bekerja di Jawa, upah harian mula-mula ditetapkan F.0,35 terlepas dari usia atau tempat kerja, tetapi kemudian pada November 1944 ketetapan ini diperbaiki sebagaimana terlihat pada table berikut.
Namun, sangat meragukan bahwa peraturan dan ketetapan semacam itu benar-benar dijalankan. Mengenai upah yang sesungguhnya diterima Roumusha, informasi yang agak bisa dipercaya dapat diperoleh dari laporan-laporan interogasi NEFIS (Netherlands Expedicionary Forces Intelligence Service) yang dikumpulkan atas dasar interogasi Roumusha yang ditangkap oleh pasukan Sekutu selama dan segera setelah perang usai. Upah Roumusha dalam laporan ini bebeda-beda, bergantung pada jenis pekerjaanya, wilayah, waktu dan kemampuan, serta tanggung jawab perseorangan. Upah juga berbeda bergantung pada bagaiman mereka menghitungnya. Beberapa menyatakan pendapatan kotor, sementara lainya melaporkan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya makan, tabungan dan kiriman kepada keluarga yang sebelumnya disisihkan oleh atasan. Menurut Roumusha Madura dan Jawa, seorang mandor dibayar F.0,75 dan seorang Roumusha biasa sebesar F.0,43 per hari.
Dari seluruh sumber informasi tersebut serta sajian yang dijelaskan sebelumnya, dapat diperkirakan bahwa seorang biasa dibayar antara F.0,40 dan F.0,50 per hari, sementara seorang mandor dibayar sedikit lebih tinggi. Namun, biaya makanan dan kiriman kepada keluarga diambil dari sana menyebabkan upah yang sesungguhnya mereka terima jauh lebih kecil, mungkin sekitar F.0,20 sampai F.0,25. Betapa pun kecilnya upah, mereka yang dibayar sesuai dengan yang dijanjikan masih lebih kaya. Beberapa Roumusha sama sekali tidak dibayar atau dibayar jauh lebih kecil daripada kontrak. Pembenaran yang dilakukan oleh atasan mereka ialah uang tersebut dikirim langsung kepada keluarga mereka di Jawa. Akan tetapi, dalam banyak kasus, keluarga mereka tidak menerima apapun, atau jika menerimanya, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang seharusnya. Anggaran tetap telah dialokasikan oleh penguasa militer Jepang sebagi upah Roumusha Jepang, tetapi yang dianggarkan tersebut tidak sampai ke tangan buruh. Mungkin hal ini sebagian karena penggelapan oleh para kerani yang mempunyai kedudukan untuk megatur Roumusha. Dalam kasus-kasus lain, upah tersebut telah dibayarkan sebelumnya menjelang keberangkatan seseorang sebagai uang persiapan, tetapi diambil oleh pejabat yang bertugas dalam proses perekrutan. (Aiko Kurasawa, 2015:159-161)
2.3.4 Lingkungan hidup dan kerja
Rendahnya upah bukanlah persoalan paling serius. Tragedi terbesar dari Roumusha adalah cara-cara tak manusiawi yang diberlakukan pada mereka. Ada kemungkinan Roumusha dianggap seolah-olah barang yang dapat dihabiskan dan selalu bisa diganti, dan sedikit sekali upaya menaruh perhatian untuk mencegah atau mengurangi kelelahan mereka. Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok Roumusha baru daripada mengambil resiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit. Dengan demikian, puluhan ribu Roumusha kehilangan nyawa mereka karena kurangnya pencegahan yang dilakukan Jepang. Bahkan, sebelum sampai ke tempat kerja mereka, beberapa meninggal karena kondisi pengapalan yang sangat buruk. Sebagaimana disinggung di atas, banyak yang meninggal di atas kapal dan jenazah mereka dilemparkan ke laut tanpa upacara keagamaan apapun. Kematian di perjalanan tidak hanya disebabkan oleh kondisi makanan dan kesehatan yang buruk, tetapi juga akibat pengeboman pasukan sekutu.
Sebagian besar Roumusha yang berasal dari masyarakat pedesaan dan kurang memiliki pengalaman pekerjaan di luar pertanian tidak begitu terbiasa dengan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka. Jam kerja biasanya berlangsung lama sepanjang hari dan hal itu sangat melelahkan di daerah tropis. Selain itu, mereka jarang diberi hari libur sehingga mudah lelah dan menderita penyakit. Kecelakaan selama bekerja juga merupakan hal yang biasa. Salah seorang informan mengatakan bahwa selama menjadi Roumusha, ia tidak pernah dipanggil dengan nama, tetapi hanya dipanggil dengan menyebut nomor registrasinya.
Makanan juga menyedihkan. Mereka disediakan makanan, tetapi umumnya sangat buruk dan hampir semua informan mengeluh tentang hal ini. Dalam kenyataan, pemerintah militer telah mengatur standar pencatuan yang diberikan kepada Roumusha yang tidak begitu buruk.
Menurut Tan Malaka, seorang Roumusha biasa diberi 250 gram beras, sementara seorang mandor memperoleh 400 gram per hari di Bayah, Banten. Dapat diperkirakan bahwa di daerah-daerah lain diterapkan standar yang lebih kurang sama. Mengingat bahwa konsumsi beras sebelum perang di kalangan penduduk Indonesia rata-rata sekitar 230 gram per hari, jumlah tersebut sangat mencukupi dan tidak seburuk sebagaimana dituduhkan oleh informan.
Agaknya, porsi makanan yang sesungguhnya diberikan di kamp-kamp Roumusha tidak sebanding dengan standar ini, dan mayoritas Roumusha menderita kelaparan. Hal ini mungkin karena situasi tidak mengizinkan penguasa untuk mengikuti standar. Mereka dihadapkan dengan keadaan sangat langkanya jatah militer dan tidak bisa menyisihkan sebanyak yang semula direncanakan untuk diberikan kepada Roumusha. Akan tetapi, mungkin juga sebagian karena jatah diambil oleh orang-orang yang bertanggung jawab atas pembagiannya. Mungkin kerani dan mandor menipu Roumusha yang berada di bawah kekuasaanya.
Kondisi yang membuat situasi ini lebih buruk pada umumnya ialah Roumusha sulit sekali memperoleh makanan tambahan dengan uang mereka sendiri karena sebagian besar lokasi kerja jauh dari tempat pemukiman penduduk.
Untuk memelihara kesehatan Roumusha, beberapa sarana kesehatan disediakan di kamp-kamp Roumusha yang besar. Namun, apabila dibandingkan dengan jumlah pekerja yang bertugas, jumlah tenaga kesehatan dan obat-obatan sangat jauh dari mencukupi.  Ratusan Roumusha menderita akibat penyakit dan kelelahan, dan beberapa di antaranya meninggal. Seorang informan dalam kesaksian menyatakan bahwa muncul desas-desus kalau sekali sesorang diangkut ke klinik, ia tidak akan kembali hidup-hidup. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya kondisi yang dibawa ke klinik serta betapa tingginya mortalitas.
Di samping kelelahan fisik dan kondisi kesehatan yang buruk, Roumusha juga dihadapkan pada bahaya serangan udara sekutu. Karena sebagian besar Roumusha mengerjakan proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan perang, tempat kerja mereka sering menjadi sasaran serangan udara. (Aiko Kurasawa, 2015:161-165)
2.3.5 Badan Pembantoe Pradjoerit Pekerdja (BP3) dan upaya-upaya  untuk meningkatkan kondisi kerja
Kondisi yang menyedihkan bagi Roumusha menarik perhatian para pemimpin nasionalis. Mereka melakukan tekanan terhadap pemerintahan militer untuk meningkatkan kehidupan Roumusha. Upaya pertama adalah usulan pada Sidang ke-4 Dewan Pertimbangan Pusat (Chuuoo Sangiin) pada Agustus 1944, mengenai sebuah organisasi untuk menangani kesejahteraan umum Roumusha serta keluarga mereka yang disebut Badan Pembantoe Pradjoerit Pekerdja (BP3). Ini merupakan sebuah organisasi untuk memantau kondisi kerja serta untuk menawarkan bantuan spiritual dan material kepada keluarga Roumusha. Usul tersebut diterima dan segera dilaksanakan. Kantor pusat BP3 dibentuk di Jakarta dengan Moh. Hatta sebagai ketuanya (Kaichou) dan menyusul pembentukan cabang-cabang setempat di seluruh Jawa. Ia mempunyai jaringan vertikal yang menjangkau ke bawah sampai ke kalangan bawah dan pada setiap jenjang kepala unit pemerintahan yaitu residen, bupati, wedana, camat dan kepala desa bertindak sebagai pelindungnya.
Menurut buku pegangan yang diterbitkan organisasi ini pada Oktober 1944 berjudul “Peratoeran Dasar dan Peratoeran Choesoes Kinroo Senshi Engokai (Badan Pembantoe Peradjoerit Pekerdja)”, organisasi ini merupakan sebuah organisasi sosial yang didukung oleh sukarelawan, tetapi disubsidi oleh pemerintah militer serta dijalankan atas kerja sama dengan Biro Tenaga Kerja pemerintah militer (Romukyoku). Fungsinya adalah sebagai berikut.
1.    Membangoenkan dan mengobar-ngobarkan semangat, kemaoean dan kegembiraan bekerdja di kalangan pendoedoek di Djawa di dalam segala lapangan.
2.    Menginsjafkan kaoem pekerdja dan keloearganja tentang arti Peperangan Asia Timoer Raja dan menggerakan mereka oentoek membantoe peperangan itoe dengan ichlas dan sekoeat-koeat tenaga.
3.    Membantoe pendaftaran tjalon pekerdja.
4.    Mendjaga dan mengoeroes penghidoepan keloearga peradjoerit pekerdja jang sedang mendjalankan kewadjibannja ataoe tewas dan mendapat sakit diwaktoe mendjalankan kewadjibannja.
5.    Memperhatikan kedoedoekan pekerdja.
6.    Mengoeroes penghidoepan pekerdja jang mendapat ketjelakaan diwaktoe mendjalankan kewadjibannja jang sesoedah semboeh tidak dapat bekerdja lagi.
7.    Mengadakan penghormatan oentoek pekerdja jang tewas dalam melakoekan kewadjibannja, menoeroet agama dan adat istiadatnja.
8.    Membantoe meringankan penderitaan pekerdja jang mendapat sakit ketika mendjalankan kewadjibannja.
9.    Mengadakan penghiboeran bagi pekerdja dan keloearganja.
10.     Lain-lain oesaha yang sah.
Namun, tampaknya BP3 tidak berfungsi sebaik yang diharapkan dan situasinya tidak banyak meningkat. Setelah usulan-usulan ini dibuat, beberapa langkah baru dilakukan oleh pemerintah militer demi kesejahteraan Roumusha yang agaknya merupakan tanggapan atas usul-usul ini. Salah satunya ialah mengenai keputusan bahwa keluarga Roumusha yang dikirim ke luar Jawa setiap bulan diberi tunjangan sebesar F.10.000 oleh Romukyokai dan keluarga mereka yang dikirim ke keresidenan lain di Jawa akan diberi F.3,00. Selain itu, diputuskan bahwa sebuah tanda yang menunjukan ‘rumah prajurit pekerja’ akan dibagikan oleh pemerintah setempat kepada keluarga Roumusha.
Tindakan lain yang diambil pada tahap akhir pendudukan Jepang ini ialah dikeluarkannya peraturan “pertolongan Roumusha yang megalami kecelakaan” (Koujou Jigyouba Roumusha Saigai Fujo Youryou) pada 14  Februari 1945. Menurut peraturan ini, mereka yang mengalami kecelakaan sewaktu bekerja dan memerlukan opname, seluruh biaya yang diperlukan bagi pengobatan dan selama opname akan dijamin, dan upahnya dibayarkan sebagai berikut : bulan pertama 80% dari upah; bulan kedua sampai keenam 50% dari upah; setelah bulan keenam, yang setara dengan upah 350 hari, dibayarkan sekaligus sebagai pesangon.
Apabila Roumusha yang mengalami kecelakaan tetap cacat setelah pengobatan selesai akan dibayarkan kompensasi menurut tingkat kecacatannya. Apabila seorang Roumusha meninggal karena kecelakaan upah kerja selama 300 hari akan dibayarkan kepada keluarganya. Semua biaya ini dibayar oleh yang mempekerjakan mereka. Peraturan-peraturan ini baru ditetapkan pada tahap-tahap akhir masa pendudukan dan belum dilaksanakan ketika Jepang menyerah. (Aiko Kurasawa, 2015:167-170)
2.3.6 Asrama Roumusha
Asrama untuk Roumusha dibuat dua macam, yaitu :
1.    Asrama Roumusha untuk yang berkeluarga.
Berupa bangunan yang memanjang dari utara ke selatan atau dari barat ke timur dengan lebar 3 meter dan panjang 50 meter. Bangunan kemudian di sekat-sekat menyerupai kamar-kamar ukuran 3x3 meter. Setiap keluarga Roumusha menempati satu kamar untuk di tempati bersama selama bekerja di pertambangan Bayah.
2.    Asrama untuk Roumusha muda atau yang tidak berkeluarga.
Bentuk awal bangunan serupa dengan asrama untuk Roumusha yang berkeluarga dengan lebar 10 meter dan panjang 50 meter. Yang membedakan, bangunan tersebut tidak dibuat kamar-kamar tetapi dibiarkan terbuka memanjang tanpa sekat. Kemudian bangunan tersebut ditempati 50 hingga 100 orang Roumusha secara bersama-sama.
Kontruksi bangunan untuk asrama terdiri dari kayu dan bambu. Tiang-tiangnya menggunakan kayu, dindingnya menggunakan anyaman bambu, lantainya dari bilah-bilah bambu dan atapnya terbuat dari daun pohon sagu atau rumbia. Tidak digunakan paku untuk menyatukan bagian-bagian bangunan, tetapi digunakan semacam tali dari ijuk pohon sagu. Itulah sebabnya bangunan-bangunan Roumusha ini tidak dapat bertahan lama. (Hendri F. Isnaeni&Apid,2008:131)



Comments

Popular posts from this blog

KESUSASTRAAN ZAMAN JOODAI

A.    Sejarah Joodai B ungaku disebut juga sebagai kesusastraan zaman Yamato, karena kegiatan politik serta kebudayaan pada zaman tersebut berpusat di Yamato. Joodai B ungaku ini dapat dipastikan berakhir ketika ibukota pemerintahannya pindah ke Heian pada tahun 794, tetapi permulaannya tidak dapat diketahui secara pasti. Usaha penyatuan negara Jepang mengalami kemajuan sekitar abad IV sampai abad V dan di bawah D inasti Y amato ini didirikan menjadi sebuah negara kesatuan. Penerimaan kebudayaan Cina sudah terjalin sejak abad ke III. Dan pada abad ke VII dan ke VIII Jepang mengirim utusan yang disebut Kenzuishi dan Kentooshi untuk mengimpor kebudayaan Cina, seperti cara pembuatan istana, dan undang-undang yang menjadi dasar negara. Selain itu buku-buku pun banyak di datangkan dari negeri Cina. Dalam bidang pemikiran (shisooshi) pun seperti Juukyo (konfusianisme) dan pemikiran Roosoo (Lao Tzu dan Chuang Tzu) cukup banyak penggemarnya. Di samping itu agama Budha juga masu...

GENJI MONOGATARI

GENJI MONOGATARI A.       Sejarah Sastra klasik Jepang memiliki karya yang sering disetarakan dengan Shakespeare, yaitu sebuah novel abad kesebelas yang berjudul Genji Monogatari (Kisah Genji). Genji Monogatari adalah salah satu buku tertua dan paling masyhur dalam khazanah sastra klasik Jepang. Buku ini, yang dinobatkan Unesco sebagai novel pertama dunia, berkisah tentang pangeran Hikaru dari klan Genji dan petualangannya di istana kerajaan, keterlibatannya dalam serangkaian percintaan, pengkhianatan serta pengucilan politis. Di antara buku-buku klasik Jepang, Genji Monogatari termasuk karya yang sulit dibaca, bukan hanya lantaran panjangnya yang mencapai 750.000 kata tetapi juga karena ditulis dalam citarasa bahasa yang kuno. Novel ini lahir dari tangan Murasaki Shikibu, seorang wanita yang tinggal di istana kerajaan Heian (795-1192) di Kyoto. Dibesarkan di tengah keluarga gubernur Fujiwara, Murasaki tumbuh sebagai anak yang pintar dan belajar lebih...

KEDATANGAN JEPANG DI JAWA

Awal Mula Kedatangan Jepang di Jawa Serangan atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour oleh pihak Jepang memancing berlangsungnya Perang Asia Timur Raya. Dalam upayanya untuk membentuk imperium di Asia, Jepang mulai melancarkan peperangan di wilayah Pasifik. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993:1) Jepang pernah menjadi satu-satunya Negara di Asia yang mampu menjadi negara imperialis. Dengan usaha-usaha yang dilakukannya yaitu melakukan politik ekspansi ke kawasan Asia Pasifik termasuk Hindia Belanda, akhirnya memperoleh kedudukan terkemuka dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, industri dan perdagangan. Semenjak penyerangannya ke Pearl Harbour, gerakan invasi militer Jepang dengan cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara merupakan wilayah yang dalam perhitungan Jepang harus diduduki terlebih dahulu sebagai daerah yang cukup kaya, sehingga dapat dijadikan benteng untuk mengamankan kekuasaan Jepang. (Cahyo Budi Utomo, 199...