Skip to main content

DAMPAK PENDUDUKAN JEPANG TERHADAP ROUMUSHA SECARA FISIK


Roumusha sebagai pekerja buruh kasar pemerintah militer Jepang harus mampu merawat dirinya sendiri setelah Jepang kalah melawan sekutu, sebab Jepang sudah tidak bertanggung jawab kepada para Roumusha. Sikap Jepang yang tidak berperikemanusiaan terhadap Roumusha menyebabkan mereka mengalami kondisi tubuh yang tidak memungkinkan untuk kembali melanjutkan masa depan mereka.
Berbagai hukuman yang diberikan kepada Roumusha di tempat kerja meninggalkan luka di sekujur tubuh yang tidak berdaya. Badan yang kurus kerempeng telah mewarnai dalam lingkungan masyarakat. Hidup mereka yang sudah susah ditambah beban dan kondisi tubuh mereka yang kurang gizi. Tumbuh kembang seseorang yang semestinya normal menjadi terhambat karena adanya pengerahan Roumusha.
Kondisi itu membuat para Roumusha menderita kelemahan fisik, sehingga mereka tidak mampu bekerja lagi. Jika di antara mereka ada yang berani beristirahat sekalipun hanya sebentar maka hal itu akan mengundang makian atau pukulan dari pengawas mereka yang orang Jepang. Masa istirahat yang diperbolehkan adalah pada malam hari (tidur). Dalam keadaan fisik yang lemah membuat mereka tidak tahan (rentan) terhadap penyakit. Karena tidak sempat memasak air minum, sedangkan buang air di sembarang tempat maka mereka terjangkit wabah disentri. Mereka juga terjangkit wabah malaria karena tidak bisa menghindarkan diri dari serangan nyamuk. (Poesponegoro dan Noto Susanto [ed], 1993:39)
Tindakan Jepang tersebut memperparah kondisi Roumusha sehingga berakibat pada timbulnya berbagai kesengsaraan dan penderitaan. Menurut kesaksian, selain upah ada beberapa kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain :
3.2.1 Beratnya beban kerja
 Roumusha merasakan beratnya beban kerja secara fisik dan psikis. Secara fisik apa yang dikerjakan pada saat itu sangat bertolak belakang  dengan yang mereka biasa kerjakan sehari-hari di daerah asalnya. Di tempat asalnya, keahlian mereka adalah bertani dengan pola kerja yang longgar, kapan mulai bekerja dan kapan berhenti bekerja itu tergantung keinginannya sendiri. Di tempat kerja baru, mereka berhadapan dengan pekerjaan baru yang sama sekali belum pernah mereka kerjakan sebelumnya dengan pola kerja yang ketat. Dalam keadaan seperti itu, mau tidak mau harus mematuhi apa yang diperintahkan Jepang. Menolak perintahnya berarti menanti hukuman berat yang akan diberikan Jepang.
Selain itu, ada satu pola yang diciptakan Jepang untuk dapat menarik simpati Roumusha ke dalam pekerjaan yaitu ketentuan tidak tertulis yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan makanan maka Roumusha harus bekerja dan yang tidak bekerja tidak akan terdaftar dalam penerima ransuman nasi atau jatah beras. Berdasarkan ketentuan ini untuk Roumusha sehat maupun sakit agar bisa bertahan hidup maka harus bekerja. Menurut P. Samijo, sebenarnya kerja Roumusha itu tidak terlalu berat, akan tetapi karena kondisi tubuh yang lemah dan sakit itulah maka pekerjaan Roumusha terasa menjadi dua kali lebih berat dari biasanya. (Hendri F. Isnaeni&Apid, 2008:122-123)
3.2.2  Kurangnya makanan dan pakaian
Makanan yang dimiliki setiap rumah tidak mencukupi dalam melangsungkan hidup. Karena kurangnya asupan gizi yang diperoleh dalam makanan mengakibatkan kondisi tubuh yang melemah. Dari pemeriksaan yang dilakukan ditemukan hasil bahwa persediaan makanan menurut daerah yang diperiksa sangatlah kurang. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah penduduk dan jumlah tanah yang mereka miliki untuk ditanami bahan makanan tidak seimbang. Kekurangan bahan makanan semakin menyulitkan di daerah-daerah karena batasan kepemilikan bahan-bahan serta dilarangnya bahan makanan yang masuk maupun keluar dari daerah ke daerah lain.
Kondisi perang yang semakin sengit juga telah mempercepat kebutuhan makanan rakyat semakin memburuk. Semua bahan makanan disediakan untuk tentara militer Jepang yang sedang berperang. Selanjutnya harga kebutuhan pokok semakin membumbung tinggi, sehingga masyarakat golongan bawah tidak mampu untuk membeli. Di samping itu, penduduk harus menyerahkan padinya kepada pemerintah serta ternak yang mereka miliki untuk kebutuhan perang.
Makanan adalah unsur yang penting bagi Roumusha agar bisa bertahan hidup dan mendapatkan energi agar dapat tetap bekerja. Untuk mendapatkan Roumusha yang berkualitas dan hasil pekerjaannya memuasakan, maka Jepang harus memberikan jaminan makanan yang cukup dan berkualitas baik. Tetapi pada saat itu yang dilakukan Jepang terhadap Roumusha adalah sebaliknya. Makanan memang diberikan dalam dua kali sehari, beras bagi Roumusha yang berkeluarga dan nasi bagi Roumusha yang tidak berkeluarga. Yang jadi masalah bagi Roumusha adalah takarannya tidak sesuai dengan kebutuhan harian dan kualitasnya tidak layak konsumsi bila dibandingkan dengan energi yang harus mereka keluarkan sehari-hari dalam pekerjaanya.
Beras atau nasi dalam takaran konsumsi 250 gram dan 400 gram sehari adalah bukan jumlah yang banyak bagi mereka apalagi dari jumlah itu tidak semua dapat dikonsumsi karena kadang kala masih bercampur dengan gabah (butiran padi), jagung atau bahkan batu kerikil kecil. Mungkin hal itu dilakukan Jepang untuk menambah berat takaran. Selain itu, tidak jarang Roumusha mendapatkan makanan pagi tetapi sorenya tidak. Bersama nasi tersebut diberikan juga sayur pepaya atau daun singkong, genjer, kangkung tanpa bumbu, lauknya sekali-kali ikan asin.
Makanan hanya diberikan kepada para Roumusha yang terdaftar kerja saja, sedangkan Roumusha yang tidak bekerja karena sakit atau sebab lain maka jatah makanan dengan sendirinya tidak ada. Oleh karena itu, banyak Roumusha yang memaksakan diri untuk bekerja agar bisa mendapatkan makanan untuk mempertahankan hidup. Dalam kondisi ini, Roumusha yang memaksakan diri bekerja maka sakitnya akan bertambah parah. Jika tidak bekerja pun tetap akan bertambah parah karena tidak ada makanan untuk memulihkan kondisinya. Karena inilah sebagian besar Roumusha banyak yang meninggal.
Pakaian sama halnya dengan makanan, barang langka dan sulit didapatkan. Pakaian yang diberikan Jepang kepada Roumusha berupa baju dan celana yang terbuat dari bahan karung goni untuk laki-laki dan lempengan karet (lateks) untuk perempuan. Bagi Roumusha memakai pakaian itu adalah siksaan dan sangat tidak nyaman karena menyebabkan panas dan gatal-gatal, juga menyebabkan iritasi kulit apabila bergesekan dengan serat-seratnya yang kasar. Pakaian ini selain digunakan oleh Roumusha untuk bekerja di lubang pertambangan, proyek pembangunan dan membabat hutan, juga untuk pakaian sehari-hari. Hal ini biasa terjadi karena Roumusha hanya memiliki satu buah pakaian dalam jangka waktu yang lama. Jepang memberikan pakaian ini dalam kurun waktu 6 bulan sekali. (Hendri F. Isnaeni&Apid, 2008:124-126)

3.2.3  Wabah penyakit
Wabah penyakit merupakan pembunuh nomor 1 yang timbul dan menyebar disebabkan oleh :
a.    Kondisi lingkungan yang tidak sehat
Pemukiman Roumusha oleh Jepang umumnya ditempatkan di sekitar lubang-lubang penambangan di tengah hutan dan di tepi pantai yang potensial sebagai sarang nyamuk malaria. Juga tidak terdapat fasilitas MCK yang baik dan memadai. Roumusha terbiasa untuk menggunakan sungai-sungai untuk aktivitas tersebut. Hal itu berpotensi menyebabkan penyakit malaria, disentri dan kolera.
b.    Kondisi badan Roumusha yang lemah
Pekerjaan berat dan kurangnya makanan membuat tubuh Roumusha sangat lemah dan memiliki tingkat imunitas yang rendah terhadap

potensi penyakit yang akan menyerang tubuhnya. Sehingga ketika di sekelilingnya terdapat potensi penyebaran dari lingkungan dan penularan dari sesama Roumusha maka sangat rentan sekali terjangkit.
c.    Kondisi badan dan pakaian yang kotor
Pakaian dan badan yang kotor berpotensi berjangkitnya penyakit kulit yang diakibatkan oleh parasit-parasit atau kutu busuk yang menempel di tubuh dan pakaian tersebut. Apalagi pakaian Roumusha adalah pakaian multiguna, yaitu untuk sehari-hari dan bekerja. Juga disebabkan oleh bahan pakaian yang digunakannya, yaitu karung goni yang menjadi tempat tinggal nyaman kutu busuk yaitu Tuma penghisap darah. Biasanya Tuma tinggal di pori-pori karung yang memang besar dan dalam lipatannya. Siang dan malam tuma-tuma itu menghisap darah Roumusha, meninggalkan bintik-bintik merah di kulit dan sangat gatal. Mau tidak mau Roumusha harus menggaruknya yang lama kelamaan meninggalkan luka yang menyebar menjadi budukan dan dari lecet menjadi borok yang berisi nanah. Pada malam hari menjelang tidur siksaan ini semakin dahsyat karena serangan tuma yang ditambah tumbila yang bersarang di pelupuh (lantai bambu) bedeng (asrama Roumusha). Untuk menghindarinya banyak Roumusha yang tidur di luar bedeng dan tidur di atas tanah yang kotor dan lembab. Tidur di alam terbuka menyebabkan daya tahan tubuh Roumusha semakin menurun sehingga mudah terjangkit berbagai macam penyakit.
d.   Tidak adanya upaya penanggulangan dari pihak Jepang
Dalam kondsi ini seharusnya Jepang membuat rumah sakit untuk menampung Roumusha yang menderita penyakit, menambah dokter dan perawat, menyediakan beragam obat untuk berbagai penyakit dan yang paling penting adalah meningkatkan kualitas hidup Roumusha. Pada saat itu memang terdapat rumah sakit tetapi  tidak lebih hanya sebagai tempat penampungan Roumusha untuk menunggu kematian karena tidak ada  penanganan kesehatan dan obat-obatan. Di kalangan Roumusha pada saat itu ada desas desus kalau sekali seseorang diangkut ke rumah sakit atau klinik maka ia tidak akan kembali dalam keadaan hidup. Selama bergelut dengan rasa sakitnya Roumusha ini tidak dapat bekerja atau tidak mau bekerja lagi, mereka berserakan di berbagai tempat di sekitar kamp-kamp penambangan, emperan-emperan bangunan, di sepanjang tepian rel kereta api, di pemukiman penduduk dan di bawah pepohonan. Para Roumusha hanya bisa terdiam merasakan rasa sakit dan menunggu maut karena sudah tidak mampu beraktivitas lagi. Setiap pagi penduduk sekitar dan para Roumusha menyaksikan pemandangan yang mengerikan yaitu para Roumusha malang telah menjadi mayat yang berserakan. Pemandangan seperti itu bukan barang yang aneh bagi mereka. Ketika itu mayat-mayat Roumusha seolah tidak dianggap manusia karena pemakamannya tanpa melalui proses ritual layaknya manusia mati. Mayatnya hanya dibungkus tikar, dibalut pakaian yang menempel pada badannya atau dengan dedaunan, kemudian dimakamkan di mana saja tergantung Roumusha itu ditemukan. Dalam satu lubang kadang kala diisi bukan hanya oleh satu atau dua mayat, tetapi bisa lima sampai sepuluh mayat. Pemakaman massal ini terdapat di beberapa tempat seperti Pulo Manuk yang luasnya hingga 38 hektar, di Sangko, Bayah, Cihara-Cibobos dan Cimang. (Hendri F. Isnaeni&Apid,2008:124-129)
Seorang ahli biologis Inggris yang lari dari tempat pengucilan dan bekerja di museum pusat di Singapura selama perang menyaksikan kesengsaraan Roumusha Jawa di sana dan melaporkan bahwa menjelang April 1944, kami tertimpa kesulitan baru yang berlangsung berbulan-bulan sampai akhirnya menemukan seorang pengungsi lain. Militer Jepang telah mulai mengumpulkan tenaga kerja di Indonesia. Penggerebekan dilakukan di desa-desa . Lelaki dan wanita ditangkap (meskipun yang muda dan aktif, kalau untung melarikan diri), dijejalkan ke atas truk dan dibawa pergi. Rombongan orang Jawa yang sudah menua, lelah dan sakit berlayar dengan kapal selama dua minggu, tiba di Singapura, berbondong-bondong memenuhi jalanan ke sudut pemukiman kumuh mereka sebelum dipindahkan. Bagi banyak orang, stasiun transit mereka adalah pondok-pondok militer antara museum dan tempat tinggal kami.
Tak sedikit yang meninggal selama perjalanan di laut. Jenazahnya dimasukkan ke dalam karung beras dengan lubang untuk menjulurkan tangan dan kaki kemudian karung ini diangkut dari kapal oleh bekas teman-teman mereka. Pemandangan yang mengerikan ialah orang-orang lewat di jalanan yang berjuang memanggul beban yang tak tertahankan ini di punggung mereka, menurunkan beban tersebut untuk mengusir kelelahan dan meninggalkannya di parit atau mengangkatnya kembali dan berjuang untuk membawanya. Sesungguhnya hal itu menjadi ingatan yang mengerikan dan aib umum.
Bagi kaum wanita, kalau masih muda dan cantik, diangkut ke kamp-kamp pelacuran di dekat kantor. Dari sana, seruan mereka “tolong tolong” mengiris hati orang yang lewat. Dalam satu dan lain hal, kedatangan Jepang ke kamp konsentrasi ini lebih mendekati pembantaian orang-orang Cina pada hari-hari awal Komando Yamashita. Tidak ada insiden yang lebih menghidupkan semangat rakyat yang telah runtuh, setelah dua tahun pendudukan melawan semboyan besar “Lingkungan Persemakmuran Bersama Asia Tenggara”.

Banyak jenazah yang ditinggalkan di Museum. Beberapa mencapai Tanglin dan Kebun Raya, ditambah dengan beberapa orang yang mati di pondok. Suatu kali, beberapa ratus orang Jawa berdesakan di antara rumah kami yang kecil dengan sebuah tong air kecil untuk memasok semua kebutuhan mereka. Batuk dan ludah menjadi suatu yang tak tertahankan di malam hari. Saya biasanya menutup kuping dengan kapas dan mengikatnya dengan sebuah ikatan kepala, membuat “earphones”, seperti disebut Mr. Birt. Tikus memakan jenazah dan jumlahnya semakin banyak. Nyamuk berpesta pora. Karena takut disentri, kolera dan wabah yang biasa muncul di tengah-tengah kota yang tak terlindungi ini, kami mendesak bantuan kota praja melaui dokter Haneda untuk membersihkan sampah dan jenazah. Kami tidak menjumpai perwira kesehatan Jepang yang bertanggung jawab atas kesehatan. Ketika pondok pemukiman diisi untuk berjalan melewati jejalan manusia saja sudah tidak mungkin. Kalau ada pun hanya orang sial yang masuk ke sana, Mr. Birt dan saya harus melangkah hati-hati kemudian melaporkan jumlah jenazah yang harus disingkirkan. Keadaanya mengerikan karena di sini seseorang harus duduk dan berbaring di malam hari di depan mereka yang menunggu ajal. Suatu pagi kami melaporkan hanya 13 mayat. Lori kota praja tiba, mayat dibaringkan berjejer dan ketika mayat ke-12 telah diangkat, yang ke-13 bangun dan memprotes. Akan tetapi, 13 jenazah harus dikumpulkan. Akhirnya mayat ke-13 pergi dengan pengemudi di tempat duduk di bagian depan. (Aiko Kurasawa, 2008:166-167)

Comments

Popular posts from this blog

KESUSASTRAAN ZAMAN JOODAI

A.    Sejarah Joodai B ungaku disebut juga sebagai kesusastraan zaman Yamato, karena kegiatan politik serta kebudayaan pada zaman tersebut berpusat di Yamato. Joodai B ungaku ini dapat dipastikan berakhir ketika ibukota pemerintahannya pindah ke Heian pada tahun 794, tetapi permulaannya tidak dapat diketahui secara pasti. Usaha penyatuan negara Jepang mengalami kemajuan sekitar abad IV sampai abad V dan di bawah D inasti Y amato ini didirikan menjadi sebuah negara kesatuan. Penerimaan kebudayaan Cina sudah terjalin sejak abad ke III. Dan pada abad ke VII dan ke VIII Jepang mengirim utusan yang disebut Kenzuishi dan Kentooshi untuk mengimpor kebudayaan Cina, seperti cara pembuatan istana, dan undang-undang yang menjadi dasar negara. Selain itu buku-buku pun banyak di datangkan dari negeri Cina. Dalam bidang pemikiran (shisooshi) pun seperti Juukyo (konfusianisme) dan pemikiran Roosoo (Lao Tzu dan Chuang Tzu) cukup banyak penggemarnya. Di samping itu agama Budha juga masu...

GENJI MONOGATARI

GENJI MONOGATARI A.       Sejarah Sastra klasik Jepang memiliki karya yang sering disetarakan dengan Shakespeare, yaitu sebuah novel abad kesebelas yang berjudul Genji Monogatari (Kisah Genji). Genji Monogatari adalah salah satu buku tertua dan paling masyhur dalam khazanah sastra klasik Jepang. Buku ini, yang dinobatkan Unesco sebagai novel pertama dunia, berkisah tentang pangeran Hikaru dari klan Genji dan petualangannya di istana kerajaan, keterlibatannya dalam serangkaian percintaan, pengkhianatan serta pengucilan politis. Di antara buku-buku klasik Jepang, Genji Monogatari termasuk karya yang sulit dibaca, bukan hanya lantaran panjangnya yang mencapai 750.000 kata tetapi juga karena ditulis dalam citarasa bahasa yang kuno. Novel ini lahir dari tangan Murasaki Shikibu, seorang wanita yang tinggal di istana kerajaan Heian (795-1192) di Kyoto. Dibesarkan di tengah keluarga gubernur Fujiwara, Murasaki tumbuh sebagai anak yang pintar dan belajar lebih...

KEDATANGAN JEPANG DI JAWA

Awal Mula Kedatangan Jepang di Jawa Serangan atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour oleh pihak Jepang memancing berlangsungnya Perang Asia Timur Raya. Dalam upayanya untuk membentuk imperium di Asia, Jepang mulai melancarkan peperangan di wilayah Pasifik. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993:1) Jepang pernah menjadi satu-satunya Negara di Asia yang mampu menjadi negara imperialis. Dengan usaha-usaha yang dilakukannya yaitu melakukan politik ekspansi ke kawasan Asia Pasifik termasuk Hindia Belanda, akhirnya memperoleh kedudukan terkemuka dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, industri dan perdagangan. Semenjak penyerangannya ke Pearl Harbour, gerakan invasi militer Jepang dengan cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara merupakan wilayah yang dalam perhitungan Jepang harus diduduki terlebih dahulu sebagai daerah yang cukup kaya, sehingga dapat dijadikan benteng untuk mengamankan kekuasaan Jepang. (Cahyo Budi Utomo, 199...