Untuk memberikan
gambaran tentang apa yang disebut dengan Roumusha,
berikut akan diperkenalkan beberapa kesaksian dari beberapa bekas Roumusha. Kesaksian yang pertama adalah
kasus tentang tiga Roumusha yang
diambil dari Kabupaten Klaten dan dikirim ke Keresidenan Banten. Desa asal
mereka merupakan wilayah persawahan yang subur dan terletak di jalan penghubung
antara Solo dan Yogyakarta. Di samping
penanaman padi, penduduk desa juga menghasilkan tembakau dan rosela. Banyak
penduduk yang hidup berkecukupan atau pas-pasan dan memiliki sepetak tanah.
Dari wilayah yang relatif subur seperti itulah Roumusha diambil. Informan-informan berikut ini umumnya berusia
sekitar 60 tahun pada saat mereka diwawancarai (1980-1981), yang berarti bahwa
mereka masih berusia awal 20 tahunan ketika diambil sebagai Roumusha.
Kesaksian I (ke Banten)
Martopawiro (diwawancarai 24 September 1980)
Marto awit (diwawancarai 25 September 1980)
Wiryowijoyo (diwawancarai 26 September 1980)
Berasal dari Desa Ngaran, Kecamatan Polanharj,o Kabupaten
Klaten.
Suatu hari
muncul imbauan bagi Roumusha untuk pergi
ke Keresidenan Banten. Pada waktu itu, salah seorang di antara kami,
Wiryowijoyo sedang menganggur setelah menyelesaikan sekolah dasar desa yang
ditutup ketika Jepang tiba. Dua lainnya adalah anak-anak petani miskin dan
tidak cukup punya tanah yang bisa ditanami. Oleh karena itu, kami secara
sukarela memenuhi panggilan tersebut.
Dari desa yang
sama, tujuh orang melamar bersama-sama. Menjelang keberangkatan, kami diberi
F.3,50 dan diangkut ke Surakarta dengan disertai oleh Pak Bayan. Di kota
Surakarta, kami ditempatkan di bawah tanggung jawab seseorang dari Serang.
Selain itu, ada seseorang dari Surakarta bernama Sugiarto yang akan memimpin
seluruh rombongan sebagai mandor. Katanya dia kerabat dekat keraton karena
ibunya berasal dari keluarga bangsawan. Karena itu, ia dihormati dan dipatuhi
oleh rakyat.
Dari Solo kami
mengambil kereta yang dicarter untuk Roumusha
dan diangkut ke Banten melalui Jakarta. Kami turun dari kereta di Serang dan
diangkut ke Cilegon. Kami ditempatkan di Cilegon dan pulang balik ke Merak
untuk bekerja. Pekerjaan kami ialah melakukan gugur gunung dengan pembangunan
sebuah lapangan terbang di Gembong. Di sana, kami dibayar dengan upah rata-rata
F. 0,75 per meter kubik batu. Setelah bekerja selama dua bulan di sana, kami
dipindahkan ke Gembor untuk membangun lapangan terbang. Kami bekerja di sana
sekitar satu bulan.
Di kedua tempat
tersebut kami tinggal di sebuah pondok sederhana terbuat dari bambu dan makanan
disediakan. Bagi Wiryowijoyo, tampaknya makanan itu tidak begitu buruk dibandingkan
dengan keadaan di rumahnya (pada masa itu, petani harus menyerahkan setengah
dari hasil panen padi mereka dan ia diberi tahu bahwa hal itu untuk memberi
makan Roumusha). Akan tetapi, bagi
Martopawiro, makanan tersebut buruk sekali. Biasanya terdiri dari nasi dan
sedikit lauk ikan asin yang dibungkus dengan daun bambu. Ada sebuah klinik
untuk Roumusha dengan seorang dokter
dan orang-orang yang sakit diberi obat dan dibebaskan dari kerja. Oleh karena
itu, tidak banyak yang meninggal akibat penyakit. Akan tetapi, penggunaan
dinamit untuk pekerjaan sangat berbahaya dan menyebabkan beberapa orang Roumusha meninggal akibat kecelakaan
selama bekarja.
Setelah selesai
kontrak selama tiga bulan di Banten, ketujuh orang dari desa ini bisa kembali
ke rumah dengan selamat. Namun, setelah tinggal beberapa waktu, seorang dari
kami yang bernama Tamno melamar menjadi Roumusha
kembali dan dikirim ke Borneo. Ia tidak pernah kembali sampai hari ini. Anak
yang berpendidikan baik ini merupakan putra seorang mandor dan kami tidak tahu
apa yang membuatnya berani menjadi Roumusha
kembali. (Aiko Kurasawa, 2008:138-139)
Berdasarkan
kesaksian I ini, ketiga Roumusha tersebut dapat menyelesaikan masa kontrak
mereka dan berhasil selamat tanpa ada seorapun yang meninggal hingga kembali ke
desa asal di Klaten. Untuk kasus ini, bisa dikatakan bahwa mereka sangat
beruntung karena kebanyakan dari Roumusha
tidak dapat kembali ke daerah asal mereka atau meninggal saat melakukan tugas.
Kesaksian
II (ke Borneo Inggris)
Dalwadi (diwawancarai 27 September 1981)
Paimin (diwawancarai 27 September 1981)
Rachmad (diwawancarai 28 September 1981)
Mangunsukarto (diwawancarai 26 September 1981)
Kromosumarto (diwawancarai 25 September 1981)
Berasal dari Desa Kauman, Kecamatan
Polanharjo, Kabupaten Klaten.
Kami semuanya
petani miskin yang bekerja di atas sepetak sawah. Di antara kami berlima,
Paimin adalah buruh tani, sementara empat lainnya adalah anak-anak petani
miskin yang menanami sepetak sawah ayah mereka. Ketika Jepang tiba,
Kromosumarto telah menikah dan punya tiga orang anak, tetapi empat lainnya
masih bujangan. Pada suatu hari di tahun 1942, muncul sebuah pengumuman yang
disampaikan Pak Lurah kepada orang-orang supaya pergi ke Borneo Inggris sebagai
Roumusha. Ia mendorong kami dengan
mengatakan bahwa kehidupan di sana lebih murah dan bahwa kami dapat memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi di sana. Hal ini kedengarannya menyenangkan dan
kami memutuskan untuk melamar. Beberapa orang bertindak demikian demi uang,
sedangkan lainnya untuk mencari pengalaman dan berpetualang. Pada waktu itu,
kami tidak mempunyai gambaran tentang apa artinya menjadi seorang Roumusha. Tentu saja kemudian kami
menyesali benar-benar ketidaktahuan kami.
Mula-mula kami
diperiksa oleh seorang Dokter Indonesia di kantor kewedanaan (di Jatinom). Di
samping kami, delapan penduduk sedesa lulus dan di antara mereka terdapat kakak
sulung Mangunsukarto sendiri (Atmodikromo) yang pernah menjadi Roumusha di Bnaten, Tamno dan seorang
lelaki tua yang putranya pernah menjadi Roumusha
di Banten (Kromongadimin). Pada hari yang ditetapkan, Pak Kebayan mengangkut
kami ke kantor Kabupaten Klaten. Di sana terdapat sekitar 1.500 Roumusha, tua dan muda yang diambil dari
seluruh Kabupaten Klaten. Rombongan besar kami dipimpin oleh seorang pejabat
Kabupaten dan diangkut ke Jakarta dari Stasiun Klaten dengan sebuah kereta api
yang dicarter khusus untuk pengangkutan Roumusha.
Untuk sementara
waktu, kami ditempatkan di Jakarta untuk menunggu kedatangan Roumusha dari wilayah lain di Jawa dan
sementara itu kami dipekerjakan di tanjung Priok. Di sana, kami diangkut dengan
sebuah kapal besar bersama-sama dengan ribuan orang lain. Mula-mula kapal
berlabuh di Teluk Betung, Sumatera Selatan dan beberapa Roumusha diturunkan kemudian kami pergi ke Singapura. Di sana, kami
tinggal beberapa hari serta dibagi menjadi beberapa kelompok yang akan pergi ke
tujuan yang berbeda. Kami akan pergi ke Borneo Inggris dinaikkan kembali ke
atas kapal dan melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini memakan waktu hampir satu
bulan dan karena kondisi kesehatan yang buruk, lima atau enam orang meninggal
setiap hari. Jenazah mereka dilemparkan ke laut dengan dibungkus kain seprei
dan diberati dengan pemberat sehingga tidak mengambang. Dua orang kawan sedesa
kami meninggal dengan cara ini.
Di Borneo,
pertama-tama kami diturunkan dari atas kapal di Kuching, Serawak dan di sana
bekerja selama sekitar satu tahun. Kemudian kami dipindahkan ke Muara, Brunei.
Di kedua tempat tersebut, Roumusha
Jawa dipekerjakan pada berbagai pekerjaan seperti pembangunan jalan-jalan.
Setiap orang diberi pekerjaan yang berbeda. Kelompok kami ditugaskan untuk
membabat hutan dan mengangkut kayunya ke pelabuhan untuk dikapalkan dan
digunakan bagi pembangunan wilayah-wilayah lain. Di samping Roumusha Jawa juga terdapat banyak
penduduk setempat, Cina, Melayu dan India yang dimobilisasi untuk bekerja. Akan
tetapi, setiap bangsa membentuk kelompok kerja yang berbeda. Kami orang-orang
Jawa bekerja di bawah mandor orang Jawa. Sebagai pengawas tertinggi adalah
orang Jepang yang disebut “Master” dan di bawahnya terdapat seorang pegawai
India. Kemudian terdapat seorang Danchou (komandan)
Jawa dan seorang Fuku Danchou (wakil
komandan) Jawa. Mereka tidak bekerja dalam pekerjaan kasar tetapi bekerja di
kantor. Mandor yang secara langsung mengawasi kami di lapangan disebut Hanchou (kepala seksi) atau Ninpu Hanchou (buruh kepala). Setiap Hanchou mengawasi sekitar 20-30 Roumusha. Salah seorang dari kami yaitu
Kromosumarto kemudian diangkat menjadi Hanchou.
Dia tidak berpendidikan dan buta huruf, mungkin pengangkatan ini karena
pekerjaannya dianggap bagus. Di samping pemimpin-pemimpin tersebut, ada seorang
penerjemah Cina yang bekerja antara “Master” Jepang dan Hanchou Indonesia.
Kami diberi upah yang dibayarkan sekali
sebulan. Namun, setengah dari jumlah uang tersebut tidak diberikan dan
dikirimkan kepada keluarga kami di Jawa. Di kemudian hari, kami dapati bahwa
keluarga memang menerima uang dari kantor kewedanaan, tetapi jumlahnya jauh
lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Karena uang tersebut dikirimkan
bersama-sama dengan sepotong kain putih, orangtua Kromosumarto menganggap bahwa
hal itu sebagai pertanda bahwa anak mereka telah meninggal karena kain putih
biasanya untuk membungkus jenazah.
Pakaian sangat
langka sekali di kalangan Roumusha dan
karena mengenakan celana yang berasal dari karung goni, kami selalu terganggu
dengan kutu. Air sangat kurang dan kami harus mandi di laut dengan air asin.
Kami tinggal di barak-barak sederhana seperti los. Makanannya buruk sekali.
Kami diberi nasi tiga kali sehari tetapi tanpa sayuran atau daging sama sekali.
Hanya kadang-kadang ada pelayanan khusus berupa udah cacah atau ikan asin.
Karena buruknya gizi, kondisi kesehatan yang jelek dan kerja keras, seluruh Roumusha sangat menderita dan sekitar 10
orang meninggal setiap hari. Ada sebuah klinik dengan seorang Dokter Jepang
tetapi ada desas-desus bahwa sekali seseorang dibawa ke klinik, dia tidak akan
pernah kembali hidup-hidup. Kami juga menderita akibat penyakit tetapi berusaha
mengobati diri sendiri dan sembuh.
Suatu hari,
sebuah kapal terbang Australia datang dan menjatuhkan pamplet-pamflet yang
ditulis dengan bahasa Indonesai. Meskipun kami semua buta huruf, ada seorang
yang bisa membacakannya dan memberi tahu isinya. Di situ tertulis bahwa “ Semua
orang Jawa dan Melayu : Pergilah ke Paparutu dan engkau akan melihat seorang
tuan besar di sana. Engkau akan diberi roti dengan daging dan mentega kaleng.”
Kami mengikuti
arah tersebut ke Paparutu. Kami harus berhati-hati sekali dalam perjalanan
supaya tidak ditangkap oleh Jepang yang masih berkeliaran di sana. Setelah lima
hari berjalan kaki kami sampai di Paparutu. Di sana, kami menjumpai seorang
lelaki Belanda yang bisa berbicaraa dalam bahasa Jawa. Kami diberi makan, pakaian
dan selimut. Banyak Roumusha datang
dari berbagai tempat dan akhirnya mencapai jumlah sekitar 1.000 orang yang
ditampung oleh pasukan sekutu. Pada waktu itu, pasukan sekutu akan berperang
melawan tentara Jepang. Kami ingin bergabung dengan mereka tetapi mereka tidak
mengizinkan. Tak lama kemudian perang usai dan Jepang yang kalah lari.
Kemudian kami
diberi tahu supaya pergi ke kampung Jawa, tempat tinggal penduduk setempat yang
berasal dari Jawa. Kami diberi pekerjaan sesuai dengan kemampuan. Setelah
beberapa lama kami diberi tahu supaya mendaftar agar dapat kembali ke Jawa.
Beberapa orang mencurigai bahwa kami akan diangkut ke Digul tetapi ternyata
dugaan itu salah. Kami diangkut dengan kapal ke Jakarta. Dari sana kami naik
kereta ke Yogyakarta, di mana kami diberi hiburan nonton bioskop. Selanjutnya,
setelah rekreasi sehari, kami akhirnya kembali ke Klaten. Seluruh biaya
pemulangan kembali ditanggung oleh Belanda. Kami mendengar bahwa kami
dipulangkan sebagai pertukaran bagi tawanan perang Belanda yang ditahan oleh
Tentara Republik. Menjelang saat itu, Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaan dan pemerintah Republik melancarkan perang melawan Belanda. Waktu
itu menginjak tahun 1946 dan kami telah pergi jauh dari rumah selama 4 tahun.
Dari 13 orang yang meninggalkan desa bersama-sama, hanya kami berlima yang
dapat kembali. Kakak sulung Mangunsukarto memutuskan untuk tinggal di Borneo
atas keinginannya sendiri. Sementara 7 teman lain meninggal, baik di atas kapal
atau di Borneo. Keluarga kami sangat terkejut kami kembali hidup-hidup
dikarenakan mereka percaya bahwa kami telah meninggal.
Sepulangnya,
kami diberi sepucuk surat sebagai Pradjoerit Norokarjo oleh Pemerintah
Indonesia tetapi kami tidak menerima ganti rugi materi lainnya. Beberapa di
antara kami membawa pulang uang tentara Jepag yang diselamatkan selama 4 tahun
kerja di Borneo tetapi uang ini tidak mempunyai nilai di bawah rezim baru. Kami
sia-sia menghabiskan waktu dan tenaga. (Aiko Kurasawa, 2008:138-143)
Baru pada Mei
1946, kelompok pertama pulang ke Jakarta di bawah pengawasan penguasa Belanda.
Sejumlah 560 Roumusha meninggalkan
Singapura di bawah pengawasan NEBUDORI (Nederlandsch
Bureau voor Documentatie en repatrieering van Indonesia) yaitu Biro Belanda
untuk dokumentasi dan repatriasi orang-orang Indonesia pada 3 Mei dan pada hari
berikutnya 1.500 Roumusha
meninggalkan Sulawesi Selatan di bawah pengawasan residen di daerah ini dan
disusul banyak rombongan lain. Di daerah-daerah yang dikuasai NEBUDORI, mereka
yang telah ditampung di kamp Singapura dipulangkan lebih dulu kemudian mereka
yang ditampung di Kuala Lumpur, Penang, Kidjang(Riau), Bangkok dan Thamuang
berturut-turut menyusul. Semua akhirnya berkumpul di Singapura dan berangkat
dari sana. Mereka yang berasal dari wilayah pedalaman tinggal dulu di kamp-kamp
yang telah dikosongkan dalam perjalanan menuju Singapura. Selama setahuan, antara Mei 1946 dan April 1947, sebanyak 77
kapal dipakai untuk memulangkan mereka dan seluruhnya ada 52. 117 Roumusha yang kembali ke Jawa. (Aiko
Kurasawa,2008:198)
Comments
Post a Comment