Apabila
dibandingkan antara tingkat perekonomian pada masa Jepang dengan masa Belanda,
Bapak Simhadi, Bapak Rachmat maupun Bapak Sabar sama-sama mengatakan bahwa pada
masa Belanda lebih baik daripada masa Jepang, meskipun sama-sama dalam kondisi
terjajah. Pada masa Belanda apa-apa ada (barang keperluan sehari-hari ada),
sedangkan pada masa Jepang kebalikannya (tidak ada atau sulit dicari). Pada
dasarnya, masa pendudukan Jepang apa-apa yang ada dianggap milik Jepang atau
setidaknya boleh digunakan oleh Jepang.
Jepang juga
memberi perhatian terhadap masalah sosial ekonomi ke-masyarakatan. Pemerintah
pendudukan Jepang melakukan beberapa perubahan, terutama berkaitan dengan
masalah sosial ekonomi kemasyarakatan itu. Di masa pendudukan Jepang,
organisasi pedesaan secara langsung dihubungkan dengan dunia luar dalam
pengertian politik, ekonomi dan spiritual. (Kurasawa dalam Nagazumi, 1988:83)
Pendudukan
Jepang mengakibatkan berbagai kondisi sosial masyarakat mengalami perubahan
yang mendadak. Ketika Jepang melakukan pengeksploitasian tenaga kerja dari
daerah pendudukan, berbagai lapisan masyarakat merasakan dampaknya. Hampir di
setiap lapisan masyarakat dipaksa untuk bekerja membantu mesin Jepang melawan
sekutu. Aparat-aparat desa harus ikut bertanggung jawab dalam program
pengerahan, sehingga semakin memperburuk hubungan antar perangkat desa dengan
penduduk. Mereka menunjuk salah seorang penduduk untuk menjadi Roumusha terhadap orang-orang yang tidak
disenangi di masyarakat desa mereka masing-masing. (L. de Jong/Bey, 1987:33-35)
Sikap permusuhan
mulai muncul dalam kehidupan penduduk terhadap mereka yang berada di atasnya.
Penyerahan wajib padi, tindak korupsi, pelaksanaan Roumusha dan lain sebagainya merupakan beberapa yang menjadi faktor
pendorongnya. Mereka merasa dirampas hak-haknya, harta pemilikan, serta modal yang
mereka miliki. Jadi kehidupan penduduk dalam bermasyarakat terpecah karena
kebijakan Jepang yang membalut mereka sampai-sampai memakan korban meninggal.
Pecahnya perang
dan pendudukan pasukan militer Jepang mengakibatkan perubahan besar-besaran di
dalam struktur ekonomi Jawa. Tujuan penyerbuan Jepang ke Jawa, sebagaimana ke
bagian Hindia Belanda ialah mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi di
berbagai wilayah jajahan ini. Pedesaan Jawa, dengan tanahnya yang subur dan
penduduknya yang banyak dianggap mempunyai potensi ekonomi luar biasa dan
Jepang berusaha mengeksploitasinya dengan seefisien mungkin melalui kontrol
secara intensif atas pulau ini. Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem
pengaturan ekonomi pemerintah Jepang seperti kegiatan ekonomi diarahkan untuk
kepentingan perang. Maka, seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan
untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil
perkebunan, pabrik, bank, dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai
akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang.
Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta
kemiskinan meningkat drastis.
Jepang
menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran
yang sangat berat. Beberapa tindakan yang diambil adalah pengawasan pada
penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang, pengendalian harga
barang, pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu dan sekaligus memonopoli
penjualannya, pembatasan teh, kopi, dan tembakau karena tidak langsung
berkaitan dengan kebutuhan perang serta monopoli tebu dan gula, juga pemaksaan
menanam pohon jarak dan kapas pada lahan pertanian dan perkebunan.
Jepang juga
menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem Autarki
(memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang).
Konsekuensinya, tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk
kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun
material.
Pada tahun 1944,
kondisi politik dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan
kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah
Jepang mengadakan kampanye penyerahan pangan dan barang secara besar-besaran
melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian) serta
instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan
menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40%
menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit,
gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah dan penyakit mewabah.
Kondisi ini melanda hampir di setiap desa di Pulau Jawa, termasuk di Wonosobo,
Jawa Tengah yang angka kematiannya 53.7% dan Purworejo yang angka kematian
mencapai 224,7%. Bisa anda bayangkan bagaiman beratnya penderitaan yang
dirasakan bangsa Indonesia pada masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan
makanan hewan seperti keladi gatal, bekicot, umbi-umbian).
Sulitnya pemenuhan kebutuhan
pangan semakin terasa bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan
penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat compang camping,
ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat
kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet (lateks) sebagai penutup.
Demikian bentuk
praktik-praktik eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang yang telah begitu
banyak menghancurkan sumber daya alam, menimbulkan krisis ekonomi yang
mengerikan dan berakhir dengan tingginya tingkat kematian seperti terjadi juga
pada bidang sosial di bawah ini, khususnya pergerakan sosial yang dilakukan
pemerintah Jepang dalam bentuk Kinrohosi
atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa untuk kepentingan perang.
Luasnya daerah
pendudukan Jepang menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang
sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu
pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan
jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu diperoleh dari desa-desa di Jawa
yang padat penduduknya melalui suatu system kerja paksa yang dikenal dengan Roumusha. Roumusha ini dikoordinir melalui program Kinrohoshi atau kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukan dengan
sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga
diserahkan pada panitia pengerah atau Romukyokai
yang ada di setiap desa. Banyak
tenaga Roumusha yang tidak kembali
dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja yang sangat berat dan tidak
diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang lebih dari 70.000
orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian dari ±300.000
tenaga Roumusha yang dikirim ke
Birma, Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak.
Kondisi sosial
yang memprihatinkan tersebut telah memicu semangat nasionalisme para pejuang
Peta untuk mencoba melakukan pemberontakan karena tidak tahan menyaksikan
penyiksaan terhadap para Roumusha.
Praktik
eksploitasi atau pengerahan sosial lainnya adalah bentuk penipuan terhadap para
gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur atau Jugun Ianfu dan disekap dalam kamar tertutup. Para wanita ini
awalnya diiming-imingi pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko atau akan
disekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit
Jepang di kamp-kamp seperti Solo,
Semarang, Jakarta dan Sumatra Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak
gadis yang sakit terkena penyakit “kotor”, stress bahkan ada pula yang bunuh
diri karena malu.
Adapun kebijakan pemerintah Jepang dalam
bidang sosial yang dapat dirasakan manfaatnya adalah pembentukan Tonarigami (RT). Satu RT terdiri atas
10-12 kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan pengaturan kewajiban rakyat.
Perubahan sosial
dalam masyarakat Indonesia yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang ialah
diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam pemerintahan di Indonesia sehingga
terjadi perubahan dalam institusi/lembaga sosial di berbagai daerah. (Hendri F. Isnaeni & Apid, 2008:37-40)
Struktur otoritas di daerah pedesaan juga dirubah.
Selama pendudukan Jepang, kepala desa dan para pembantunya diperlakukan sedikit
lebih baik seperti wakil pemerintah pusat dan menjalankan perintah dari atas
untuk keuntungan pengusaha penjajahan. (Kurusawa dalam Nagazumi, 1988:84)
Pada masa pendudukan Jepang ini, struktur sosial di
daerah pedesaan berubah. Para pejabat pamong praja (pangreh praja) beserta stafnya
berada di puncak kekuasaan sosial. Mereka pada umumnya adalah bersal dari kota
yang tidak berminat pada sektor pertanian di pedesaan.
Selama masa ini, seorang kepala desa dan perangkatnya
diperlakukan sebagai alat pemerintah pusat, alat penguaa sehingga mereka
menjalankan perintah dari atas untuk keuntungan Jepang. (Soemarmo, 2001:51)
Mereka diberi tugas untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan pemerintah pendudukan Jepang di tingkat pedesaan. Tugas
mereka antara lain mengumpulkan beras dari warga desa, merekrut Roumusha, merekrut para pemuda/pemudi
untuk mendapat didikan militer guna keperluan perang Jepang.
Diantara penduduk dari golongan petani, kepala desa
dan para pembantunya mempunyai prestise sosial
yang sangat tinggi. Di luar kelompok pamong desa, stratifikasi sosial
didasarkan atas kepemilikan tanah, yang menempati golongan pertama masyarakat
ini adalah kuli kenceng yaitu mereka yang memiliki sawah yang mudah dialiri.
Kelas ini juga mencakup mereka yang memiliki tanah kering yang mudah ditanami
tetapi status mereka berada di bawah para pemilik tanah. Tingkat sosial di
bawahnya adalah kuli karang kopek yaitu yang memiliki tanah hanya pekarangan.
Berikutnya adalah kuli indung yaitu yang sama sekali tidak memiliki tanah tapi
punya rumah. Kelas terakhir adalah indung tlosor yaitu yang tidak punya tanah
maupun rumah dan menumpang pada keluarga lain dan bekerja untuk mereka.
(Soemardjan, 1981:41)
Pada kenyataanya Jepang tidak memiliki potensi sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang cukup guna mengahadapi perang jangka
panjang melawan sekutu untuk mewujudkan cita-cita membentuk suatu imperium Asia
di bawah kekuasaan Jepang. Dalam suatu pertemuan bernama “Pertemuan Untuk
Tahta” pada tanggal 6 September 1941, Kepala Staf Angkatan Laut Jepang
Laksamana Osami Nagamo mengutarakan bahwa Jepang mengalami kekurangan di segala
bidang antara lain mengenai bahan-bahan baku, pendeknya Jepang menjadi kurus
dan lemah, sedangkan lawan-lawannya menjadi kuat.
Berdasarkan kenyataan tersebut segera di awal-awal
pendudukannya, usaha-usaha mobilisasi dan eksploitasi sumber-sumber daya cepat
dilakukan. Mobilisasi dalam istilah Jepang berarti menarik suatu dan
menempatkannya untuk dimanfaatkan demi tujuan tetentu. Dalam masa perang, hal
tersebut berarti mengumpulkan dan memindahkan barang serta komoditas sesuai
dengan rencana yang telah disusun Jepang. Dan dalam hal ini yang dimobilisasi
adalah sumber ekonomi dan tenaga dari seluruh wilayah yang didudukinya dan dari
wilayah Jepang sendiri.
Di dalam kekuasaan Jepang, di setiap wilayah dengan
segala potensi dan sumber dayanya diharuskan mendukung Jepang untuk memenangkan
perang. Dalam dasar-dasar bagi pemerintahan atas kawasan-kawasan Nan-yo (Selatan/Asia Tenggara),
disebutkan bahwa apabila dalam mencari sumber-sumber tambahan bagi pertahanan
nasional yang vital dan kemandirian perlengkapan serta pembekalan bagi militer dan
terpaksa merugikan atau mendatangkan bencana bagi tingkat hidup atau
kesejahteraan bangsa pribumi, maka dalam keadaan demikian sekalipun tidak boleh
sampai menghambat perjuangan kita. Dalam hal ini tidak ada kebijakan yang memihak
bangsa dan rakyat pendudukan termasuk rakyat Indonesia. Bencana dan
kesengsaraan adalah hal yang wajar apabila untuk kepentingan Jepang. (Hendri F.
Isnaeni & Apid, 2008:55-57)
Comments
Post a Comment