Semasa Perang
Dunia II, Pulau Jawa diduduki oleh Jepang selama kurang lebih tiga setengah
tahun. Berbagai bentuk kebijakan telah dibuat dan disusun oleh Jepang terhadap
masyarakat pribumi dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya alam dan manusia
guna mendukung operasi militer Jepang. Maka dari itu, produksi dan hasil panen
serta bahan komoditas lainnya ditempatkan di bawah kendali pemerintah, dengan
prioritas pasokan utama ditujukan untuk pasukan militer Jepang.
Demi melancarkan
kebijakan ini, pokok utama yang harus dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah
bekerja sama dengan seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Jepang
membuat berbagai propaganda untuk menarik dukungan rakyat, sekaligus membentuk
pemikiran dan tingkah laku mereka. Berbagai media propaganda digunakan dan
berbagai program latihan yang dijalankan melalui berbagai kelompok yang
dibentuk masyarakat kelas bawah.
Semua kebijakan
yang dilakukan Jepang merupakan strategi politik untuk menghasilkan nilai
budaya dan kepercayaan yang baru. Akan tetapi, kebijakan ini membuat masyarakat
mengalami kesengsaraan yang tidak pernah dialami sebelumnya, seperti
eksploitasi sumber daya ekonomi yang menyebabkan meratanya kemiskinan secara
luar biasa, perekrutan tenaga kerja pedesaan seperti Roumusha yang mengakibatkan terganggunya kegiatan pertanian,
kesenjangan sosial semakin tajam, dan penguasa tradisional yang semena-mena.
Apabila seorang warga Indonesia
diminta untuk mengatakan satu faktor apa saja sebagai pengalaman yang paling
mengerikan selama pendudukan Jepang, mungkin dia akan menjawab “Roumusha”. Kata Jepang ‘Roumusha” yang hebat ini secara harfiah
berarti seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar. Akan
tetapi, dalam konteks sejarah Indonesia, istilah ini mempunyai pengertian
khusus yang mengingatkan rakyat akan pengalaman yang sangat pahit di bawah
pemerintahan militer yang kejam. Bagi orang Indonesia, Roumusha berarti seorang buruh kuli yang dimobilisasi untuk melakukan
pekerjaan kasar di bawah kekuasaan militer Jepang. Mereka pada umumnya adalah
petani biasa yang harus bekerja di luar kehendak mereka. Para petani tersebut
diperintahkan untuk bekerja pada proyek-proyek pembangunan dan pabrik. Jutaan
orang Jawa dimobilisasi dengan cara ini dan tidak sedikit di antara mereka yang
dikirim ke luar negeri. Banyak yang meninggal karena beban kerja yang berat
serata kondisi kesehatan yang buruk. Namun, banyak juga diantara mereka yang
cukup beruntung dan bertahan hidup, ada yang menderita akibat terserang penyakit,
kekurangan gizi dan mengalami luka-luka. Adapun kondisi keluarga yang mereka
tinggalkan mengalami kemiskinan karena anggota keluarga yang berperan sebagai pencari
nafkah dibawa pergi oleh militer Jepang sehingga tanah pertanian mereka sering
dibiarkan tak ditanami karena langkanya tenaga kerja. Akhirnya, hal ini
menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian. (Aiko Kurasawa, 2015:131).
Salah satu tujuan pokok pendudukan
Jepang di Asia Tenggara ialah untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan untuk
menciptakan suatu landasan pasok ekonomi yang penting demi kelangsungan perang
di sana. Jepang terutama memperhatikan kegiatan-kegiatan ekonomi dan memberikan
serta mencurahkan tenaga besar-besaran dalam bidang ini. Upaya-upaya dibuat
tidak hanya dalam kegiatan-kegiatan produktif tetapi juga dalam pembangunan
infrastruktur yang akan meningkatkan produksi. Dalam menjalankan proyek-proyek
ini, Jepang menganggap tenaga kerja di Jawa yang berlebih sebagai salah satu
sumber daya terpenting. Jawa dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta
surplus tenaga kerja memberikan sumber tenaga yang paling penting di Asia
Tenggara. (Aiko Kurasawa, 2015:131-132)
Roumusha adalah panggilan untuk pekerja paksa yang ada di Indonesia.
Mereka bekerja siang dan malam, tanpa upah, jaminan kesehatan dan tempat
tinggal yang layak. Mereka terpaksa meninggalkan keluarga yang dicintai dan
menjadi budak pemerintahan Jepang yang berkuasa saat itu.
Comments
Post a Comment